Filsafat dan Sastra
Kamis, April 01, 2010
MEN OF IDEAS
Dalam buku dengan judul diatas, Bryan Magee, berdialog dengan lima belas filsuf
kontemporer dari berbagai negara. Antara lain dari Inggris, AS, dan Perancis.
Dialog ini mula-mula ditayangkan melalui salah satu saluran televisi Inggris
beberapa tahun silam. Setelah diadakan sedikit perubahan di sana-sini, terutama
penyesuaian dari bahasa lisan ke bahasa tulisan agar dapat lebih mudah dicerna
oleh orang awam, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan anak judul 'Some
Creators of Contemporary Philosophy'.
Melalui prakata, Magee menegaskan bahwa penerbitan dalam bentuk buku ini
terdorong oleh keinginan untuk memperkenalkan kepada masyarakat yang lebih luas
beberapa wilayah yang menarik dalam aneka bidang filsafat. Pertanyaan-pertanyaan
seperti siapa tokoh filsafat yang menyandang nama besar, apa yang mereka lakukan
dan kenapa mereka dianggap besar, apa yang dimaksudkan dengan filsafat
eksistensialisme, filsafat moral, filsafat politik, filsafat sains, dan filsafat
kesusastraan adalah beberapa dari seruntun pertanyaan yang dijawab oleh buku
itu. Berbagai bidang filsafat ini dikupas dalam bentuk diskusi, dan menjadi
bacaan yang kian menarik karena Bryan Magee memberi penjelasan tambahan,
mengambil kesimpulan serta menyuguhkan latar belakang sejarah lapangan filsafat
tertentu terutama filsafat Marxis, dan filsafat logika positif.
Bagi yang ingin berkenalan dengan filsafat, pertanyaan paling pertama muncul
dalam pikiran mungkin adalah: apakah filsafat? Dan justru memang pertanyaan
filsafat yang paling mendasar inilah yang diajukan oleh Magee untuk membuka
bagian pertama dari lima belas diskusi yang dihimpunnya ke dalam bentuk buku
yang diberinya judul 'Men of Ideas'. Pertanyaan ini diserahkanya kepada filsuf
Inggris, Sir Isaiah Berlin dari Oxford, dan penulis biografi Marx. Diskusi
dengan Sir Isaiah Berlin yang diberi judul 'Pengantar ke Dalam Filsafat' ini
berkisar pada berbagai permasalahan yang mendasar dalam filsafat. Landasan titik
tolak yang diambil oleh filsafat sebagaimana secara berlebar panjang
dibentangkan oleh Isaiah Berlin, kurang lebih dapat kita simpulkan dengan
mengatakan bahwa di tengah perjuangan mencari pengetahuan tentang manusia,
mereka pada umumnya mengajukan dua jenis pernyaan.
Pertama, berbagai pertanyaan mengenai dunia semesta. Manusia sepanjang masa
mencoba menemukan serta menguasai lingkungannya, atau menaklukkan lingkungannya.
Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut alam semesta ini, menurut Berlin, hanya
bisa terjawab pada akhirnya dengan meninjau pertanyaan-pertanyaan itu sendiri,
menyelidiki, mengamati, menguji, melakukan percobaan terhadap semesta dan
seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan itu bersifat faktual, atau sebagaimana yang
dikatakan oleh para filsuf: bersifat empiris. Atau jelasnya, pertanyaan
pertanyaan yang berpaut dengan pengalaman.
Pertanyaan yang kedua bersifat lebih abstrak dan formal. Misalnya pertanyaan
pertanyaan dalam bidang matematika atau logika. Pertanyaan jenis ini berkaitan
dengan hubungan timbal-balik antara berbagai kesatuan dengan sistem formal, dan
oleh karena itu tidak dapat dijawab hanya dengan meninjau alam semesta. Dengan
mengatakan hal ini, menurut Berlin lagi, tidaklah dimaksudkan bahwa pertanyaan
itu berada pada jarak yang jauh dari perhatian kita sehari-hari. Satu sistem
formal yang sudah sangat biasa kita pakai dalam kehidupan sehari-hari adalah
aritmatik.
Sistem itu kita pergunakan setiap hari untuk menghitung sesuatu, menentukan
waktu, membilang uang dan sebagainya. Suatu sistem niskala memang bisa sangat
berguna dan penting dalam kehidupan praktis kita sehari-hari. Dengan demikian,
terdapat dua golongan besar pertanyaan: berbagai pertanyaan empiris yang
melibatkan ikhtiar meninjau berbagai fakta dan pertanyaan-petanyaan formal yang
melibatkan upaya menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Hampir seluruh
pertanyaan, dan karena itu seluruh pengetahuan, termasuk ke dalam salah satu
dari golongan pertanyaan tadi. Namun tidaklah demikian halnya dengan pertanyaan
pertanyaan yang bersifat filosofis. Hampir seluruh pertanyaan yang menunjukkan
tanda-tanda pertanyaan filosofis tidak termasuk ke dalam dua golongan pertanyaan
tadi.
Pertanyaan seperti apakah yang dimaksudkan dengan hak, keindahan, dan keadilan,
tidak dapat sekadar dijawab hanya dengan meneliti ikatan suatu sistem formal
atau meninjau fakta-fakta. Oleh sebab itu kita tidak mengetahui apa yang harus
diperbuat untuk menemukan jawabannya. Timbulnya pertanyaan yang menuntut jawaban
tanpa suatu pengertian yang jelas tentang bagaimana menemukan jawabannya adalah
awal dari langkah filsafat. Anggapan keliru yang terlanjur meluas di tengah
masyarakat adalah perkiraan bahwa filsafat dapat memberikan petunjuk-petunjuk
moral tentang bagaimana semestinya kehidupan ini harus dijalani, atau berharap
bahwa filsafat dapat menyodorkan penjelasan tantang manusia dan alam semesta,
tentang rahasia kehidupan. Atau, dengan lain perkataan, orang mencoba
menghampiri filsafat untuk menemukan jawaban-jawaban yang serba pasti.
Seorang filsuf memang bisa bicara tentang moral, tapi dalam hal ini kedudukannya
hanya sebagai penasehat filosofis. Bukanlah tugasnya untuk berkhotbah, mengutuk
atau memuji, atau memberi berbagai petunjuk tentang bagaimana orang harus hidup.
Tugas seorang filsuf, menurut Berlin, hanyalah menempatkan arah dari satu
tindakan dalam hubungan moralnya. Menentukan posisinya berdasarkan suatu peta
moral, menguhubungakan sifat, motif, tujuannya pada kaitan seluk-beluk nilai ke
dalam mana tindakan itu tergolong. Menarik garis dari berbagai akibatnya yang
mungkin terjadi serta berbagai implikasinya yang berpautan atau relevan,
memberikan berbagai argumen yang pro atau menentangnya dengan seluruh
pengetahuan, pengertian, kecakapan logika dan kedalaman moral yang dimiliki oleh
sang filsuf.
Dengan demikian, maka ia telah menjalankan tugasnya bukan sebagai seorang
pengkhotbah atau juru mudi kehidupan, melainkan sekadar sebagai seorang
penasehat filosofis. Seorang filsuf tidak dapat berbuat lebih jauh dari itu atau
melampaui batas tugasnya sebagai seorang penasehat filosofis.
Berpijak pada pandangan tadi, Berlin menyuarakan keberatannya pada sebagian
besar filsuf moral dan politik, mulai dari Plato dan Aristoteles sampai pada
Immanuel Kant, Stuart Mill, Moore, serta kebanyakan para pemikir kontemporer.
Menurut Berlin, para filsuf itu justru berbuat sebaliknya. Mereka berusaha
mengajarkan bagaimana membedakan antara yang buruk dengan yang baik,
menganjurkan penerapan pola-pola yang benar ke dalam tingkah laku manusia.
Kendati demikian, diakui pula oleh Berlin bahwa filsafat mengemban tugas ganda:
menyelidiki, khususnya mengecam pra-anggapan atas ketentuan-ketentuan nilai yang
ditetapkan atau dirumuskan oleh manusia dengan pikiran maupun tindakanya.
Sedangkan tugas lain adalah menampung atau melayani berbagai pertanyaan yang
tidak termasuk baik ke dalam golongan formal maupun ke dalam golongan empiris
yang telah disinggung dipermulaan tadi.
Buku yang diawali dengan memperkenalkan filsafat melalui dialog dengan Sir
Isaiah Berlin itu, kemudian beranjak menelusuri berbagai pokok pikiran dalam
banyak lapangan filsafat lainya. Filsafat Marxis misalnya, dibicarakan melalui
dialog dengan Charles Taylor dari All Souls College, Oxford. Filsafat
eksistensialisme moderen yang dikatakan lahir sebagai akibat pecahnya perang
dunia II, yang diduga bermula di Perancis. Tetapi sebenarnya berawal di Jerman.
Tokohnya bukan Jean Paul Sartre melainkan Heiderger. Ini dibicarakan melalui
diskusi dengan William Barret, seorang guru besar filsafat pada New York
University, pengarang buku terkenal 'Irrational Man'. Filsafat moral dibahas
dalam tanya jawab dengan Prof. R.M. Hare.
Namun yang ingin dibicarakan di sini secara lebih panjang lebar adalah bagian
terakhir itu: dialog Magee dengan Iris Murdoch, seorang filsuf dan novelis
berdarah Irlandia terkenal yang telah memperkaya khasanah kesusastraan Inggris
kontemprorer dengan sejumlah novelnya, dan seperti Salman Rushdie, ia pernah
pula meraih hadiah sastra prestisius: 'Booker's Prize'. Beberapa filsuf besar
memang sekaligus pula pengarang besar atau pujangga besar. Mereka juga banyak
menetaskan buku-buku kesusastraan. Contoh yang paling jelas adalah Plato, St
Augustine, dan Schopenhaeur. Sejumlah nama-nama besar lain juga dapat
dikatambahkan dalam kaitan ini seperti Nietzsche, Descartes, Berkeley dan Hume.
Dan yang muncul abad ini: Bertrand Russel, serta Jean Paul Sartre. Kedua filsuf
yang disebut terakhir ini bahkan berhasil memenangkan hadiah Nobel dalam
kesusastraan. Begitupun, Magee berpendapat bahwa kesusastraan tidaklah begitu
saja dapat dianggap sebagai cabang dari filsafat. Kalau seorang filsuf berhasil
menciptakan karya sastra yang baik, ini merupakan satu kelebihan baginya. Ia
menjadi tumpuan perhatian yang lebih menarik untuk dikaji.
Namun keberhasilannya mencipta karya sastra yang baik tidaklah dengan sendirinya
membuatnya menjadi seorang filsuf yang baik. Karena kwalitas serta arti penting
filsafat bukan diperhitungkan berdasarkan nilai-nilai sastra atau estetika. Hal
ini agaknya memang perlu ditekankan karena dalam beberapa segi antara filsafat
dengan kesusastraan, dua bidang yang sama sekali berbeda, ternyata memang
seringkali mengalami tumpang tindih. Orang mencampur-baurkannya sehingga tidak
terlihat lagi perbedaan antara keduanya. Dan masalah inilah yang menguasai
diskusi Bryan Magee dengan Iris Murdoch, seorang yang seperti sudah dikemukakan
tadi, menyandang predikat filsuf yang sekaligus juga novelis internasional yang
produktif. Sayang ia telah berpulang belum lama berselang.
Pada bagian diskusi pertama dibicarakan perbedaan antara filsafat dengan
kesusastraan. Di bagian kedua didiskusikan ide-ide filosofis mengenai
kesusastraan, dan di bagian terakhir kedua tokoh tadi membahas filsafat dalam
kesusastraan.
Menurut Iris Murdoch, filsafat bertujuan memperjelas dan menerangkan, filsafat
mencoba memecahkan persoalan-persoalan yang sulit dan sangat teknis sifatnya.
Penulisan filsafat harus dengan patuh berangkat menuju tujuan itu. Sedangkan
kesusastraan adalah satu seni. Satu segi dari suatu bentuk seni. Kesusastraan
mengemban tujuan-tujuan kesenian. Kesusastraan merupakan satu bentuk
pengungkapan diri, sementara filsafat tidak demikian halnya. Filsafat tidak
menuju pada satu bentuk penyempurnaan formal demi kepentingan filsafat itu
sendiri, padahal kesusastraan bergelut dalam permasalahan kompleks dalam bentuk
estetika. Kesusastraan mencoba menghasilkan suatu macam penyelesaian. Karya
sastra berusaha menciptakan ilusi, sementara filsafat justru berjuang
melenyapkan ilusi. Karya sastra adalah karya seni, sementara karya filsafat
adalah sesuatu yang lain.
Memang ada, tutur Murdoch, tetapi sangat jarang, karya filsafat yang dapat
sekaligus dinilai sebagai karya sastra atau seni seperti 'Symposium' karya
Plato. Ditegaskan pula olehnya bahwa adalah dalam kaitannya dengan bagian karya
filsafat Plato yang lain, 'Symposium' dapat dinilai sebagai satu pernyataan
filsafat. Banyak pemikir besar yang sekaligus juga pengarang besar, namun mereka
tidak bisa disebut filsuf. Contoh yang dikemukakan Iris Murdoch adalah Soren
Kierkergard dan Nietzsche, dua tokoh yang oleh Dr Fuad Hassan dalam buku
'Berkenalan dengan Existensialisme' terbitan Universitas Indonesia dibicarakan
sebagai filsuf Existensialist.
Kendati Murdoch berpendapat bahwa kesusastraan dan filsafat merupakan dua
lapangan yang berlainan, namun ia sendiri ternyata tidak mampu mendefinisikan
apa sebenarnya yang dimaksud dengan kesusastraan. Walaupun demikian, ia
mengatakan orang secara kasar memahami apa yang diartikan dengan istilah
kesusastraan. Kesusastaran adalah bentuk seni yang menggunakan medium kata-kata.
Karya jurnalistik karena itu juga dapat dinilai sebagai karya kesusastraan.
Tulisan ilmiah juga bisa dianggap sebagai karyaa sastra. Kesusastraan, menurut
Murdoch, beragam bentuknya dan amat luas. Filsafat dinilainya sempit dan sulit.
Begitupun, Murdoch menandaskan bahwa filsafat bukan suatu jenis pencapaian
sainstifik. Filsafat menggoncangkan konsep-konsep semi-estetis terhadap mana
kita umumnya bergantung. Dan katanya pula, siapa saja yang mengandalkan sains,
akan tersingkir ke luar wilayah filsafat. Filsafat adalah upaya untuk mengamati
berbagai konsep yang paling umum dan mendalam. Bukanlah ikhtiar yang gampang
mengajak orang untuk dapat melihat tahap di mana filsafat melakukan operasinya.
Meskipun Iris Murdoch bisa menerima filsafat dan kesusastraan sebagai dua bidang
yang berlainan, namun ia juga mengakui bahwa terdapat pula persamaan di antara
keduanya. Filsafat dan kesusastraan, kata Murdoch, adalah pencari kebenaran dan
berupaya mengungkapkan kebenaran. Keduanya merupakan kegiatan yang disadari
serta dilandaskan pada pengertian, atau bersifat kognitif. Kesusastraan adalah
aktivitas imajinatif, begitu juga halnya dengan filsafat. Tetapi pertanyaan
pertanyaan yang dikejar oleh filsafat secara keseluruhan tidak serupa dengan
pertanyaan-pertanyaan kongkrit yang ingin digapai oleh kesusastraan.
Berbagai metoda yang diterapkan, serta suasana yang melingkupi filsafat,
sebagaimana pada sains, berusaha menangkis berbagai godaan fantasi pribadi,
sementara imajinasi kreatif serta fantasi amat erat dan merupakan kekuatan yang
tidak dapat dielakkan oleh seorang pencipta karya sastra. Filsuf wanita itu
menilai bahwa hasrat untuk mengungkapkan diri, untuk memperjelas dan menentukan
nilai diri, merupakan motivasi yang kuat untuk berkarya. Dalam hal ini yang
dimaksudkan Murdoch adalah karya sastra. Karena itu ia berpendapat bahwa lebih
menyenangkan untuk menjadi seorang seniman daripada berusaha menjadi seorang
filsuf.
Sastra bisa dianggap satu tehnik disiplin untuk membangkitkan emosi-emosi
tertentu, termasuk emosi-emosi yang merangsang sensasi khayalan dan sensasi
fisik. Sebagian besar wujud kesenian, kata Murdoch, dikaitkan dengan sex, sengan
berbagai fantasi yang tidak baik. Yang ia maksudkan dengan fantasi tidak baik
itu adalah fantasi yang mengundang imaji pornografis, menimbulkan bentuk-bentuk
pemanjaan diri sendiri dan yang biasanya menghasilkan berbagai nilai yang salah
seperti pemujaan pada kekuasaan, status dan kekayaan. Dengan alasan ini pulalah
sementara filsuf berbalik memusuhi seni. Bahkan melalui salah satu bukunya yang
berjudul 'The Fire and The Sun', Iris Murdoch secara khusus berbicara tentang
sikap permusuhan Plato terhadap seni, padahal Plato sendiri dalam karya-karyanya
justru sering menggunakan bentuk-bentuk seni. Atau seperti dikatakan Bryan
Magee, jelas terlihat banyak bentuk seni dalam karya-karya Plato. Lantas kenapa
Plato, sebagaimana yang dinilai oleh Murdoch, bukan hanya bapak filsafat,
melainkan juga seorang filsuf terbaik, justru mengambil sikap bermusuhan
terhadap seni?
Dari titik tolak pertanyaan itulah Murdoch kemudian berangkat menguraikan
teorinya mengenai pandangan filsafat terhadap kesusastraan. Sebagai seorang
pakar teori politik, kata Murdoch, Plato takut terhadap kekuatan emosional yang
irrasional dalam seni. Kekuatan untuk menyebarkan berbagai kebohongan yang
menarik atau kebenaran-kebenaran subversif. Plato menyepakati sensor yang keras
serta pembasmian para pengarang lakon sandiwara. Plato taat pada agama, dan ia
merasa bahwa seni memusuhi agama dan filsafat. Seni menurut Plato merupakan
suatu pengganti yang egoistis bagi disiplin agama. Kenyataan bahwa karya Plato
sendiri merupakan karya seni yang besar adalah dalam pengertian bahwa ia sendiri
secara teoritis tidak mengakuinya. Dikatakannya, terdapat pertenggkaran yang
sudah berlangsung lama antara filsafat dengan puisi. Dan kita harus ingat, tutur
Murdoch, pada masa Plato filsafat baru saja muncul atau lahir dari berbagai
bentuk puisi dan spekulasi teologis. Filsafat memang mengalami kemajuan dengan
membatasi dirinya sebagai sesuatu yang tersendiri. Pada masa Plato, filsafat
memisahkan diri dari kesusastraan. Pada abad ketujuh belas memisahkan diri ilmu
alam. Pada abad kedua puluh memisahka diri dari psychologi. Plato berpendapat
seni adalah usaha meniru, tetapi peniruan yang buruk. Murdoch berpendapat,
memang benar bahwa lebih banyak seni yang buruk daripada seni yang bagus di
sekitar kita. Dan Ironisnya orang justru lebih menyukai seni yang buruk itu
daripada yang baik. Plato berkeyakinan bahwa seni pada hakikatnya adalah fantasi
pribadi, suatu bentuk perayaan terhadap hal-hal tanpa nilai atau suatu bentuk
penyelewengan dari hal-hal yang baik.
Selanjutnya Murdoch mengatakan bahwa Plato menilai seni sebagai usaha
penjiplakan yang remeh terhadap obyek tertentu tanpa mengandung arti penting
umum. Pendapat Plato ini menurut Murdoch tidaklah secara keseluruhan berbeda
dengan pandangan Bapak psikologi, Sigmund Freud. Freud menilai seni sebagai
fantasi seorang seniman yang berbicara langsung kepada fantasi penikmat karya
seninya. Seni dalam pandangan Freud adalah satu bentuk hiburan pribadi, satu
jembatan untuk memperoleh kepuasan yang tidak sempat didapat dalam kehidupan
nyata. Oleh karena itu, kata Murdoch, kita bisa menyaksikan bagaimana sebuah
cerita menegangkan atau filem yang sentimental dengan mudah bisa merangsang
fantasi pribadi para pembaca atau penonton. Pornografi adalah contoh yang
ekstrim dari seni tersebut.
Namun dipertanyakan oleh Bryan Maggee apakah kritik semacam itu hanya berlaku
untuk seni yang buruk. Bagaimana halnya dengan seni yang baik? Menjawab
pertanyaan ini, Iris Murdoch mengatakan bahwa seorang penikmat seni bisa saja
menggunakan hasil seni untuk melayani tujuannya sendiri, dan hanya seni yang
bagus sanggup menolak tujuan-tujuan yang tidak baik dengan lebih berhasil.
Maksudnya seseorang mungkin saja mengunjungi satu galeri hanya untuk menyaksikan
citra (image) yang pornografis, padahal karya seni yang dipamerkan di sana
barangkali tidak semuanya bisa menimbulkan citra pornografis. Dan karena itu,
kemungkinan suatu karya seni ditafsirkan secara tidak baik bukanlah sesuatu yang
mustahil terjadi. Murdoch secara tegas menolak pornografi. Ditandaskannya bahwa
pornografi mendatangkan akibat yang benar-benar merusak dan memerosotkan nilai
seni. Dan disayangkannya pula bahwa lebih banyak orang justru menyukai, seperti
yang dikatakannya sendiri, karya seni picisan itu.
Lalu karya seni bagaimana yang dinilai baik oleh Murdoch? Saya kira, katanya
menerangkan, karya seni yang baik adalah karya seni yang mengandung imajinasi,
bukan fantasi. Karya itu hendaknya mampu mematahkan kebiasaaan kita untuk
berfantasi, dan sekaligus mendorong kita berusaha untuk mendapatkan pandangan
yang benar tentang hidup dan kehidupan. Kita seringkali tidak berhasil melihat
kenyataan dunia yang luas ini, karena pandangan kita dibutakan oleh obsesi,
kekhawatiran, rasa iri, kejengkelan dan ketakutan. Kita membangun dunia kecil
kita untuk diri kita sendiri, dan kita terkungkung di dalamnya. Seni yang bagus,
karya seni yang besar, kata filsuf wanita itu pula, adalah karya seni yang
bersifat membebaskan, yang memungkinkan kita untuk melihat dan mendapatkan
kesenangan dari sesuatu yang bukan melulu kupuasan kita akan diri kita sendiri.
Karya sastra yang baik, tambah Murdoch, adalah karya sastra yang sanggup
mendorong serta memuaskan rasa ingin tahu kita, yang mampu membuat kita menaruh
perhatian kepada orang lain serta masalah-masalah lain, yang sanggup membuat
kita bertenggang rasa dan lapang dada. Dikatakannya pula, bahwa dengan
berpandangan demikian, bukan berarti dirinya hanya menilai seni semata-mata dari
sudut pendidikan serta faedahnya saja. Seni lebih luas dari gagasan-gagasan
sempit seperti itu, tegas Murdoch. Plato setidaknya juga berpendapat betapa
pentingnya seni itu dalam kehidupan manusia. Dan Plato sekaligus mengemukakan
pertanyaan-pertanyaan yang menarik tentang itu.
Iris Murdoch menilai para filsuf secara keseluruhan tidak sungguh-sungguh
berusaha menulis dengan baik tentang seni karena mereka menganggap seni sebagai
masalah kecil. Dalam pada itu Magee berpandapat bahwa tidak seperti hampir semua
filsuf lainnya, filsuf Perancis Shopenhauer menilai seni sebagai titik pusat
kehidupan manusia, dan sang filsuf berbicara secara mendalam mengenai hal itu.
Memang benar, kata Murdoch, Schopenhaeur memang bertikai pendapat dengan Plato.
Ia bahkan memutar balik pandangan Plato tentang seni. Schopenhaeur mengatakan
bahwa seni menguakkan cadar atau kabut subyektivitas, menangkap arus pancaroba
kehidupan, dan membuat kita bisa melihat dunia nyata serta menghayati keindahan.
Ia menilai seni sebagai kegiatan kecendekiaan, aktivitas moral yang tinggi, satu
usaha untuk mengatasi diri dan melihat dunia. Sekalipun demikian, ditegaskan
oleh Murdoch bahwa Schopenhauer hanyalah satu perkecualian di kalangan para
filsuf yang benar-benar mencintai dan menghargai seni.
Dan untungnya, ujar Murdoch, seniman tidak terlalu banyak memperhatikan para
filsuf. Filsafat terkadang bisa merusak seni. Filsafat bisa membuat orang buta
terhadap beberapa jenis seni, atau hanya mampu menghasilkan jenis-jenis seni
tertentu. Pendapat Murdoch ini dikuatkan oleh Bryan Magee dengan mengemukakan
contoh justru di dunia moderen. Di antara filsafat yang merusak seni, kata
Magee, adalah Marxisme. Menurut teori Marxis, seni memiliki satu peranan khusus,
yakni menjadi alat atau instrumen dari revolusi sosial. Semua hasil seni Marxis
itu, seperti dalam bentuk novel, sandiwara, lukisan, seni rupa dan sebagainya,
dinilai Magee sebagai sampah. Alasannya, penciptaan seni Marxis itu sama sekali
tidak digerakkan oleh dorongan seni yang murni.
Dalam pada itu Murdoch menolak anggapan bahwa tugas seorang seniman adalah
melayani atau mengabdi kepada masyarakat. Marxis, kata Murdoch, beranggapan
demikian: tugas seorang seniman mengabdi kepada masyarakat, meskipun
dikatakannya pula sudah lama timbul pertikaian pendapat mengenai hal itu. Segera
setelah seorang pengarang berkata kepada dirinya sendiri, kata Murdoch, bahwa
saya harus mengubah masyarakat melalui tulisan-tulisan saya, maka besar
kemungkinan pengarang itu akan merusak karya-karyanya. Tapi apakah pernyataan
Murdoch yang terakhir ini bisa berlaku untuk Charles Dickens misalnya? Charles
Dickens salah seorang pengarang besar Inggris dengan tujuan-tujuan sosial yang
murni. Ia tidak diragukan lagi telah berhasil mendatangkan, melalui karya
karyanya, pengaruh sosial yang luas. Dickens, kata Murdoch, memang berhasil
berbuat banyak hal. Ia misalnya berhasil sebagai pengarang besar yang imajinatif
dan seorang kritikus sosial yang kukuh dan lantang. Namun hal ini disebabkan
oleh karena adanya berbagai skandal dalam masyarakat. Dickens sangat berhubungan
erat dengan kegaduhan serta perubahan sosial yang secara amat mendalam menjerat
imajinasinya. Dickens menjadi pengarang besar berkat kemampuannya menciptakan
perwatakan para pelakunya, di samping karena kedahsyatan imajinasinya yang
sedikit saja berkaitan dengan pembaharuan atau perubahan sosial.
Dengan mengatakan itu, Murdoch tetap berkeras untuk tidak beranggapan bahwa
seniman, atau sentengah seniman, mengemban satu tugas besar terhadap masyarakat.
Seorang warga negara memang memikul tugas kemasyarakatan, dan seorang pengarang
memang mungkin kadang-kadang merasa punya keharusan menulis sebuah artikel di
surat kabar untuk membujuk atau meyakinkan masyarakat, namun itu merupakan satu
kegiatan yang lain sifatnya. Kewajiban seorang seniman adalah kepada seni,
mengungkapkan kebenaran melalui media seni yang dipilihnya. Tugas utama seorang
pengarang adalah menciptakan karya-karya sastra sebaik yang dapat dilakukannya,
dan ia harus berusaha untuk dapat melaksanakanya. Sebuah karya teater yang penuh
propaganda dan bersikap acuh tak acuh terhadap seni, mengandung kemungkinan
menjadi sebuah pernyataan yang menyesatkan, walaupun karya teater itu diilhami
oleh sekian prinsip yang baik. Apabila seni yang betul-betul seni dijadikan
sebagai tujuan, kata Murdoch lebih lanjut, maka keadilanlah yang harus dijadikan
tujuan utama.
Sebuah tema sosial yang ditampilkan melalui satu bentuk karya seni, besar
kemungkinan akan menjadi lebih jelas ditangkap maksudnya walaupun tema itu
barangkali kurang mengandung daya untuk meyakinkan masyarakat. Dan seniman,
sembarang seniman, boleh saja secara sambil lalu melayani masyarakat dengan
mengungkapkan hal-hal yang tidak diperhatikan atau difahami oleh masyarakat
tersebut. Dalam setiap masyarakat, kata Murdoch, terdapat propaganda, memiliki
kemungkinan-kemungkinan propaganda, sehingga kemampuan untuk membedakan
propaganda ini, termasuk usaha melestarikan kesucian serta kemandirian penerapan
praktek-praktek seni adalah penting sekali. Satu masyarakat yang baik, demikian
Murdoch, adalah masyarakat di mana para senimannya bisa melakukan berbagai hal
yang berlainan. Masyarakat yang buruk, adalah masyarakat yang menindas kebebasan
seniman karena masyarakat itu tahu bahwa seniman bisa mengungkapkan berbagai
kebenaran
Dalam buku dengan judul diatas, Bryan Magee, berdialog dengan lima belas filsuf
kontemporer dari berbagai negara. Antara lain dari Inggris, AS, dan Perancis.
Dialog ini mula-mula ditayangkan melalui salah satu saluran televisi Inggris
beberapa tahun silam. Setelah diadakan sedikit perubahan di sana-sini, terutama
penyesuaian dari bahasa lisan ke bahasa tulisan agar dapat lebih mudah dicerna
oleh orang awam, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan anak judul 'Some
Creators of Contemporary Philosophy'.
Melalui prakata, Magee menegaskan bahwa penerbitan dalam bentuk buku ini
terdorong oleh keinginan untuk memperkenalkan kepada masyarakat yang lebih luas
beberapa wilayah yang menarik dalam aneka bidang filsafat. Pertanyaan-pertanyaan
seperti siapa tokoh filsafat yang menyandang nama besar, apa yang mereka lakukan
dan kenapa mereka dianggap besar, apa yang dimaksudkan dengan filsafat
eksistensialisme, filsafat moral, filsafat politik, filsafat sains, dan filsafat
kesusastraan adalah beberapa dari seruntun pertanyaan yang dijawab oleh buku
itu. Berbagai bidang filsafat ini dikupas dalam bentuk diskusi, dan menjadi
bacaan yang kian menarik karena Bryan Magee memberi penjelasan tambahan,
mengambil kesimpulan serta menyuguhkan latar belakang sejarah lapangan filsafat
tertentu terutama filsafat Marxis, dan filsafat logika positif.
Bagi yang ingin berkenalan dengan filsafat, pertanyaan paling pertama muncul
dalam pikiran mungkin adalah: apakah filsafat? Dan justru memang pertanyaan
filsafat yang paling mendasar inilah yang diajukan oleh Magee untuk membuka
bagian pertama dari lima belas diskusi yang dihimpunnya ke dalam bentuk buku
yang diberinya judul 'Men of Ideas'. Pertanyaan ini diserahkanya kepada filsuf
Inggris, Sir Isaiah Berlin dari Oxford, dan penulis biografi Marx. Diskusi
dengan Sir Isaiah Berlin yang diberi judul 'Pengantar ke Dalam Filsafat' ini
berkisar pada berbagai permasalahan yang mendasar dalam filsafat. Landasan titik
tolak yang diambil oleh filsafat sebagaimana secara berlebar panjang
dibentangkan oleh Isaiah Berlin, kurang lebih dapat kita simpulkan dengan
mengatakan bahwa di tengah perjuangan mencari pengetahuan tentang manusia,
mereka pada umumnya mengajukan dua jenis pernyaan.
Pertama, berbagai pertanyaan mengenai dunia semesta. Manusia sepanjang masa
mencoba menemukan serta menguasai lingkungannya, atau menaklukkan lingkungannya.
Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut alam semesta ini, menurut Berlin, hanya
bisa terjawab pada akhirnya dengan meninjau pertanyaan-pertanyaan itu sendiri,
menyelidiki, mengamati, menguji, melakukan percobaan terhadap semesta dan
seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan itu bersifat faktual, atau sebagaimana yang
dikatakan oleh para filsuf: bersifat empiris. Atau jelasnya, pertanyaan
pertanyaan yang berpaut dengan pengalaman.
Pertanyaan yang kedua bersifat lebih abstrak dan formal. Misalnya pertanyaan
pertanyaan dalam bidang matematika atau logika. Pertanyaan jenis ini berkaitan
dengan hubungan timbal-balik antara berbagai kesatuan dengan sistem formal, dan
oleh karena itu tidak dapat dijawab hanya dengan meninjau alam semesta. Dengan
mengatakan hal ini, menurut Berlin lagi, tidaklah dimaksudkan bahwa pertanyaan
itu berada pada jarak yang jauh dari perhatian kita sehari-hari. Satu sistem
formal yang sudah sangat biasa kita pakai dalam kehidupan sehari-hari adalah
aritmatik.
Sistem itu kita pergunakan setiap hari untuk menghitung sesuatu, menentukan
waktu, membilang uang dan sebagainya. Suatu sistem niskala memang bisa sangat
berguna dan penting dalam kehidupan praktis kita sehari-hari. Dengan demikian,
terdapat dua golongan besar pertanyaan: berbagai pertanyaan empiris yang
melibatkan ikhtiar meninjau berbagai fakta dan pertanyaan-petanyaan formal yang
melibatkan upaya menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Hampir seluruh
pertanyaan, dan karena itu seluruh pengetahuan, termasuk ke dalam salah satu
dari golongan pertanyaan tadi. Namun tidaklah demikian halnya dengan pertanyaan
pertanyaan yang bersifat filosofis. Hampir seluruh pertanyaan yang menunjukkan
tanda-tanda pertanyaan filosofis tidak termasuk ke dalam dua golongan pertanyaan
tadi.
Pertanyaan seperti apakah yang dimaksudkan dengan hak, keindahan, dan keadilan,
tidak dapat sekadar dijawab hanya dengan meneliti ikatan suatu sistem formal
atau meninjau fakta-fakta. Oleh sebab itu kita tidak mengetahui apa yang harus
diperbuat untuk menemukan jawabannya. Timbulnya pertanyaan yang menuntut jawaban
tanpa suatu pengertian yang jelas tentang bagaimana menemukan jawabannya adalah
awal dari langkah filsafat. Anggapan keliru yang terlanjur meluas di tengah
masyarakat adalah perkiraan bahwa filsafat dapat memberikan petunjuk-petunjuk
moral tentang bagaimana semestinya kehidupan ini harus dijalani, atau berharap
bahwa filsafat dapat menyodorkan penjelasan tantang manusia dan alam semesta,
tentang rahasia kehidupan. Atau, dengan lain perkataan, orang mencoba
menghampiri filsafat untuk menemukan jawaban-jawaban yang serba pasti.
Seorang filsuf memang bisa bicara tentang moral, tapi dalam hal ini kedudukannya
hanya sebagai penasehat filosofis. Bukanlah tugasnya untuk berkhotbah, mengutuk
atau memuji, atau memberi berbagai petunjuk tentang bagaimana orang harus hidup.
Tugas seorang filsuf, menurut Berlin, hanyalah menempatkan arah dari satu
tindakan dalam hubungan moralnya. Menentukan posisinya berdasarkan suatu peta
moral, menguhubungakan sifat, motif, tujuannya pada kaitan seluk-beluk nilai ke
dalam mana tindakan itu tergolong. Menarik garis dari berbagai akibatnya yang
mungkin terjadi serta berbagai implikasinya yang berpautan atau relevan,
memberikan berbagai argumen yang pro atau menentangnya dengan seluruh
pengetahuan, pengertian, kecakapan logika dan kedalaman moral yang dimiliki oleh
sang filsuf.
Dengan demikian, maka ia telah menjalankan tugasnya bukan sebagai seorang
pengkhotbah atau juru mudi kehidupan, melainkan sekadar sebagai seorang
penasehat filosofis. Seorang filsuf tidak dapat berbuat lebih jauh dari itu atau
melampaui batas tugasnya sebagai seorang penasehat filosofis.
Berpijak pada pandangan tadi, Berlin menyuarakan keberatannya pada sebagian
besar filsuf moral dan politik, mulai dari Plato dan Aristoteles sampai pada
Immanuel Kant, Stuart Mill, Moore, serta kebanyakan para pemikir kontemporer.
Menurut Berlin, para filsuf itu justru berbuat sebaliknya. Mereka berusaha
mengajarkan bagaimana membedakan antara yang buruk dengan yang baik,
menganjurkan penerapan pola-pola yang benar ke dalam tingkah laku manusia.
Kendati demikian, diakui pula oleh Berlin bahwa filsafat mengemban tugas ganda:
menyelidiki, khususnya mengecam pra-anggapan atas ketentuan-ketentuan nilai yang
ditetapkan atau dirumuskan oleh manusia dengan pikiran maupun tindakanya.
Sedangkan tugas lain adalah menampung atau melayani berbagai pertanyaan yang
tidak termasuk baik ke dalam golongan formal maupun ke dalam golongan empiris
yang telah disinggung dipermulaan tadi.
Buku yang diawali dengan memperkenalkan filsafat melalui dialog dengan Sir
Isaiah Berlin itu, kemudian beranjak menelusuri berbagai pokok pikiran dalam
banyak lapangan filsafat lainya. Filsafat Marxis misalnya, dibicarakan melalui
dialog dengan Charles Taylor dari All Souls College, Oxford. Filsafat
eksistensialisme moderen yang dikatakan lahir sebagai akibat pecahnya perang
dunia II, yang diduga bermula di Perancis. Tetapi sebenarnya berawal di Jerman.
Tokohnya bukan Jean Paul Sartre melainkan Heiderger. Ini dibicarakan melalui
diskusi dengan William Barret, seorang guru besar filsafat pada New York
University, pengarang buku terkenal 'Irrational Man'. Filsafat moral dibahas
dalam tanya jawab dengan Prof. R.M. Hare.
Namun yang ingin dibicarakan di sini secara lebih panjang lebar adalah bagian
terakhir itu: dialog Magee dengan Iris Murdoch, seorang filsuf dan novelis
berdarah Irlandia terkenal yang telah memperkaya khasanah kesusastraan Inggris
kontemprorer dengan sejumlah novelnya, dan seperti Salman Rushdie, ia pernah
pula meraih hadiah sastra prestisius: 'Booker's Prize'. Beberapa filsuf besar
memang sekaligus pula pengarang besar atau pujangga besar. Mereka juga banyak
menetaskan buku-buku kesusastraan. Contoh yang paling jelas adalah Plato, St
Augustine, dan Schopenhaeur. Sejumlah nama-nama besar lain juga dapat
dikatambahkan dalam kaitan ini seperti Nietzsche, Descartes, Berkeley dan Hume.
Dan yang muncul abad ini: Bertrand Russel, serta Jean Paul Sartre. Kedua filsuf
yang disebut terakhir ini bahkan berhasil memenangkan hadiah Nobel dalam
kesusastraan. Begitupun, Magee berpendapat bahwa kesusastraan tidaklah begitu
saja dapat dianggap sebagai cabang dari filsafat. Kalau seorang filsuf berhasil
menciptakan karya sastra yang baik, ini merupakan satu kelebihan baginya. Ia
menjadi tumpuan perhatian yang lebih menarik untuk dikaji.
Namun keberhasilannya mencipta karya sastra yang baik tidaklah dengan sendirinya
membuatnya menjadi seorang filsuf yang baik. Karena kwalitas serta arti penting
filsafat bukan diperhitungkan berdasarkan nilai-nilai sastra atau estetika. Hal
ini agaknya memang perlu ditekankan karena dalam beberapa segi antara filsafat
dengan kesusastraan, dua bidang yang sama sekali berbeda, ternyata memang
seringkali mengalami tumpang tindih. Orang mencampur-baurkannya sehingga tidak
terlihat lagi perbedaan antara keduanya. Dan masalah inilah yang menguasai
diskusi Bryan Magee dengan Iris Murdoch, seorang yang seperti sudah dikemukakan
tadi, menyandang predikat filsuf yang sekaligus juga novelis internasional yang
produktif. Sayang ia telah berpulang belum lama berselang.
Pada bagian diskusi pertama dibicarakan perbedaan antara filsafat dengan
kesusastraan. Di bagian kedua didiskusikan ide-ide filosofis mengenai
kesusastraan, dan di bagian terakhir kedua tokoh tadi membahas filsafat dalam
kesusastraan.
Menurut Iris Murdoch, filsafat bertujuan memperjelas dan menerangkan, filsafat
mencoba memecahkan persoalan-persoalan yang sulit dan sangat teknis sifatnya.
Penulisan filsafat harus dengan patuh berangkat menuju tujuan itu. Sedangkan
kesusastraan adalah satu seni. Satu segi dari suatu bentuk seni. Kesusastraan
mengemban tujuan-tujuan kesenian. Kesusastraan merupakan satu bentuk
pengungkapan diri, sementara filsafat tidak demikian halnya. Filsafat tidak
menuju pada satu bentuk penyempurnaan formal demi kepentingan filsafat itu
sendiri, padahal kesusastraan bergelut dalam permasalahan kompleks dalam bentuk
estetika. Kesusastraan mencoba menghasilkan suatu macam penyelesaian. Karya
sastra berusaha menciptakan ilusi, sementara filsafat justru berjuang
melenyapkan ilusi. Karya sastra adalah karya seni, sementara karya filsafat
adalah sesuatu yang lain.
Memang ada, tutur Murdoch, tetapi sangat jarang, karya filsafat yang dapat
sekaligus dinilai sebagai karya sastra atau seni seperti 'Symposium' karya
Plato. Ditegaskan pula olehnya bahwa adalah dalam kaitannya dengan bagian karya
filsafat Plato yang lain, 'Symposium' dapat dinilai sebagai satu pernyataan
filsafat. Banyak pemikir besar yang sekaligus juga pengarang besar, namun mereka
tidak bisa disebut filsuf. Contoh yang dikemukakan Iris Murdoch adalah Soren
Kierkergard dan Nietzsche, dua tokoh yang oleh Dr Fuad Hassan dalam buku
'Berkenalan dengan Existensialisme' terbitan Universitas Indonesia dibicarakan
sebagai filsuf Existensialist.
Kendati Murdoch berpendapat bahwa kesusastraan dan filsafat merupakan dua
lapangan yang berlainan, namun ia sendiri ternyata tidak mampu mendefinisikan
apa sebenarnya yang dimaksud dengan kesusastraan. Walaupun demikian, ia
mengatakan orang secara kasar memahami apa yang diartikan dengan istilah
kesusastraan. Kesusastaran adalah bentuk seni yang menggunakan medium kata-kata.
Karya jurnalistik karena itu juga dapat dinilai sebagai karya kesusastraan.
Tulisan ilmiah juga bisa dianggap sebagai karyaa sastra. Kesusastraan, menurut
Murdoch, beragam bentuknya dan amat luas. Filsafat dinilainya sempit dan sulit.
Begitupun, Murdoch menandaskan bahwa filsafat bukan suatu jenis pencapaian
sainstifik. Filsafat menggoncangkan konsep-konsep semi-estetis terhadap mana
kita umumnya bergantung. Dan katanya pula, siapa saja yang mengandalkan sains,
akan tersingkir ke luar wilayah filsafat. Filsafat adalah upaya untuk mengamati
berbagai konsep yang paling umum dan mendalam. Bukanlah ikhtiar yang gampang
mengajak orang untuk dapat melihat tahap di mana filsafat melakukan operasinya.
Meskipun Iris Murdoch bisa menerima filsafat dan kesusastraan sebagai dua bidang
yang berlainan, namun ia juga mengakui bahwa terdapat pula persamaan di antara
keduanya. Filsafat dan kesusastraan, kata Murdoch, adalah pencari kebenaran dan
berupaya mengungkapkan kebenaran. Keduanya merupakan kegiatan yang disadari
serta dilandaskan pada pengertian, atau bersifat kognitif. Kesusastraan adalah
aktivitas imajinatif, begitu juga halnya dengan filsafat. Tetapi pertanyaan
pertanyaan yang dikejar oleh filsafat secara keseluruhan tidak serupa dengan
pertanyaan-pertanyaan kongkrit yang ingin digapai oleh kesusastraan.
Berbagai metoda yang diterapkan, serta suasana yang melingkupi filsafat,
sebagaimana pada sains, berusaha menangkis berbagai godaan fantasi pribadi,
sementara imajinasi kreatif serta fantasi amat erat dan merupakan kekuatan yang
tidak dapat dielakkan oleh seorang pencipta karya sastra. Filsuf wanita itu
menilai bahwa hasrat untuk mengungkapkan diri, untuk memperjelas dan menentukan
nilai diri, merupakan motivasi yang kuat untuk berkarya. Dalam hal ini yang
dimaksudkan Murdoch adalah karya sastra. Karena itu ia berpendapat bahwa lebih
menyenangkan untuk menjadi seorang seniman daripada berusaha menjadi seorang
filsuf.
Sastra bisa dianggap satu tehnik disiplin untuk membangkitkan emosi-emosi
tertentu, termasuk emosi-emosi yang merangsang sensasi khayalan dan sensasi
fisik. Sebagian besar wujud kesenian, kata Murdoch, dikaitkan dengan sex, sengan
berbagai fantasi yang tidak baik. Yang ia maksudkan dengan fantasi tidak baik
itu adalah fantasi yang mengundang imaji pornografis, menimbulkan bentuk-bentuk
pemanjaan diri sendiri dan yang biasanya menghasilkan berbagai nilai yang salah
seperti pemujaan pada kekuasaan, status dan kekayaan. Dengan alasan ini pulalah
sementara filsuf berbalik memusuhi seni. Bahkan melalui salah satu bukunya yang
berjudul 'The Fire and The Sun', Iris Murdoch secara khusus berbicara tentang
sikap permusuhan Plato terhadap seni, padahal Plato sendiri dalam karya-karyanya
justru sering menggunakan bentuk-bentuk seni. Atau seperti dikatakan Bryan
Magee, jelas terlihat banyak bentuk seni dalam karya-karya Plato. Lantas kenapa
Plato, sebagaimana yang dinilai oleh Murdoch, bukan hanya bapak filsafat,
melainkan juga seorang filsuf terbaik, justru mengambil sikap bermusuhan
terhadap seni?
Dari titik tolak pertanyaan itulah Murdoch kemudian berangkat menguraikan
teorinya mengenai pandangan filsafat terhadap kesusastraan. Sebagai seorang
pakar teori politik, kata Murdoch, Plato takut terhadap kekuatan emosional yang
irrasional dalam seni. Kekuatan untuk menyebarkan berbagai kebohongan yang
menarik atau kebenaran-kebenaran subversif. Plato menyepakati sensor yang keras
serta pembasmian para pengarang lakon sandiwara. Plato taat pada agama, dan ia
merasa bahwa seni memusuhi agama dan filsafat. Seni menurut Plato merupakan
suatu pengganti yang egoistis bagi disiplin agama. Kenyataan bahwa karya Plato
sendiri merupakan karya seni yang besar adalah dalam pengertian bahwa ia sendiri
secara teoritis tidak mengakuinya. Dikatakannya, terdapat pertenggkaran yang
sudah berlangsung lama antara filsafat dengan puisi. Dan kita harus ingat, tutur
Murdoch, pada masa Plato filsafat baru saja muncul atau lahir dari berbagai
bentuk puisi dan spekulasi teologis. Filsafat memang mengalami kemajuan dengan
membatasi dirinya sebagai sesuatu yang tersendiri. Pada masa Plato, filsafat
memisahkan diri dari kesusastraan. Pada abad ketujuh belas memisahkan diri ilmu
alam. Pada abad kedua puluh memisahka diri dari psychologi. Plato berpendapat
seni adalah usaha meniru, tetapi peniruan yang buruk. Murdoch berpendapat,
memang benar bahwa lebih banyak seni yang buruk daripada seni yang bagus di
sekitar kita. Dan Ironisnya orang justru lebih menyukai seni yang buruk itu
daripada yang baik. Plato berkeyakinan bahwa seni pada hakikatnya adalah fantasi
pribadi, suatu bentuk perayaan terhadap hal-hal tanpa nilai atau suatu bentuk
penyelewengan dari hal-hal yang baik.
Selanjutnya Murdoch mengatakan bahwa Plato menilai seni sebagai usaha
penjiplakan yang remeh terhadap obyek tertentu tanpa mengandung arti penting
umum. Pendapat Plato ini menurut Murdoch tidaklah secara keseluruhan berbeda
dengan pandangan Bapak psikologi, Sigmund Freud. Freud menilai seni sebagai
fantasi seorang seniman yang berbicara langsung kepada fantasi penikmat karya
seninya. Seni dalam pandangan Freud adalah satu bentuk hiburan pribadi, satu
jembatan untuk memperoleh kepuasan yang tidak sempat didapat dalam kehidupan
nyata. Oleh karena itu, kata Murdoch, kita bisa menyaksikan bagaimana sebuah
cerita menegangkan atau filem yang sentimental dengan mudah bisa merangsang
fantasi pribadi para pembaca atau penonton. Pornografi adalah contoh yang
ekstrim dari seni tersebut.
Namun dipertanyakan oleh Bryan Maggee apakah kritik semacam itu hanya berlaku
untuk seni yang buruk. Bagaimana halnya dengan seni yang baik? Menjawab
pertanyaan ini, Iris Murdoch mengatakan bahwa seorang penikmat seni bisa saja
menggunakan hasil seni untuk melayani tujuannya sendiri, dan hanya seni yang
bagus sanggup menolak tujuan-tujuan yang tidak baik dengan lebih berhasil.
Maksudnya seseorang mungkin saja mengunjungi satu galeri hanya untuk menyaksikan
citra (image) yang pornografis, padahal karya seni yang dipamerkan di sana
barangkali tidak semuanya bisa menimbulkan citra pornografis. Dan karena itu,
kemungkinan suatu karya seni ditafsirkan secara tidak baik bukanlah sesuatu yang
mustahil terjadi. Murdoch secara tegas menolak pornografi. Ditandaskannya bahwa
pornografi mendatangkan akibat yang benar-benar merusak dan memerosotkan nilai
seni. Dan disayangkannya pula bahwa lebih banyak orang justru menyukai, seperti
yang dikatakannya sendiri, karya seni picisan itu.
Lalu karya seni bagaimana yang dinilai baik oleh Murdoch? Saya kira, katanya
menerangkan, karya seni yang baik adalah karya seni yang mengandung imajinasi,
bukan fantasi. Karya itu hendaknya mampu mematahkan kebiasaaan kita untuk
berfantasi, dan sekaligus mendorong kita berusaha untuk mendapatkan pandangan
yang benar tentang hidup dan kehidupan. Kita seringkali tidak berhasil melihat
kenyataan dunia yang luas ini, karena pandangan kita dibutakan oleh obsesi,
kekhawatiran, rasa iri, kejengkelan dan ketakutan. Kita membangun dunia kecil
kita untuk diri kita sendiri, dan kita terkungkung di dalamnya. Seni yang bagus,
karya seni yang besar, kata filsuf wanita itu pula, adalah karya seni yang
bersifat membebaskan, yang memungkinkan kita untuk melihat dan mendapatkan
kesenangan dari sesuatu yang bukan melulu kupuasan kita akan diri kita sendiri.
Karya sastra yang baik, tambah Murdoch, adalah karya sastra yang sanggup
mendorong serta memuaskan rasa ingin tahu kita, yang mampu membuat kita menaruh
perhatian kepada orang lain serta masalah-masalah lain, yang sanggup membuat
kita bertenggang rasa dan lapang dada. Dikatakannya pula, bahwa dengan
berpandangan demikian, bukan berarti dirinya hanya menilai seni semata-mata dari
sudut pendidikan serta faedahnya saja. Seni lebih luas dari gagasan-gagasan
sempit seperti itu, tegas Murdoch. Plato setidaknya juga berpendapat betapa
pentingnya seni itu dalam kehidupan manusia. Dan Plato sekaligus mengemukakan
pertanyaan-pertanyaan yang menarik tentang itu.
Iris Murdoch menilai para filsuf secara keseluruhan tidak sungguh-sungguh
berusaha menulis dengan baik tentang seni karena mereka menganggap seni sebagai
masalah kecil. Dalam pada itu Magee berpandapat bahwa tidak seperti hampir semua
filsuf lainnya, filsuf Perancis Shopenhauer menilai seni sebagai titik pusat
kehidupan manusia, dan sang filsuf berbicara secara mendalam mengenai hal itu.
Memang benar, kata Murdoch, Schopenhaeur memang bertikai pendapat dengan Plato.
Ia bahkan memutar balik pandangan Plato tentang seni. Schopenhaeur mengatakan
bahwa seni menguakkan cadar atau kabut subyektivitas, menangkap arus pancaroba
kehidupan, dan membuat kita bisa melihat dunia nyata serta menghayati keindahan.
Ia menilai seni sebagai kegiatan kecendekiaan, aktivitas moral yang tinggi, satu
usaha untuk mengatasi diri dan melihat dunia. Sekalipun demikian, ditegaskan
oleh Murdoch bahwa Schopenhauer hanyalah satu perkecualian di kalangan para
filsuf yang benar-benar mencintai dan menghargai seni.
Dan untungnya, ujar Murdoch, seniman tidak terlalu banyak memperhatikan para
filsuf. Filsafat terkadang bisa merusak seni. Filsafat bisa membuat orang buta
terhadap beberapa jenis seni, atau hanya mampu menghasilkan jenis-jenis seni
tertentu. Pendapat Murdoch ini dikuatkan oleh Bryan Magee dengan mengemukakan
contoh justru di dunia moderen. Di antara filsafat yang merusak seni, kata
Magee, adalah Marxisme. Menurut teori Marxis, seni memiliki satu peranan khusus,
yakni menjadi alat atau instrumen dari revolusi sosial. Semua hasil seni Marxis
itu, seperti dalam bentuk novel, sandiwara, lukisan, seni rupa dan sebagainya,
dinilai Magee sebagai sampah. Alasannya, penciptaan seni Marxis itu sama sekali
tidak digerakkan oleh dorongan seni yang murni.
Dalam pada itu Murdoch menolak anggapan bahwa tugas seorang seniman adalah
melayani atau mengabdi kepada masyarakat. Marxis, kata Murdoch, beranggapan
demikian: tugas seorang seniman mengabdi kepada masyarakat, meskipun
dikatakannya pula sudah lama timbul pertikaian pendapat mengenai hal itu. Segera
setelah seorang pengarang berkata kepada dirinya sendiri, kata Murdoch, bahwa
saya harus mengubah masyarakat melalui tulisan-tulisan saya, maka besar
kemungkinan pengarang itu akan merusak karya-karyanya. Tapi apakah pernyataan
Murdoch yang terakhir ini bisa berlaku untuk Charles Dickens misalnya? Charles
Dickens salah seorang pengarang besar Inggris dengan tujuan-tujuan sosial yang
murni. Ia tidak diragukan lagi telah berhasil mendatangkan, melalui karya
karyanya, pengaruh sosial yang luas. Dickens, kata Murdoch, memang berhasil
berbuat banyak hal. Ia misalnya berhasil sebagai pengarang besar yang imajinatif
dan seorang kritikus sosial yang kukuh dan lantang. Namun hal ini disebabkan
oleh karena adanya berbagai skandal dalam masyarakat. Dickens sangat berhubungan
erat dengan kegaduhan serta perubahan sosial yang secara amat mendalam menjerat
imajinasinya. Dickens menjadi pengarang besar berkat kemampuannya menciptakan
perwatakan para pelakunya, di samping karena kedahsyatan imajinasinya yang
sedikit saja berkaitan dengan pembaharuan atau perubahan sosial.
Dengan mengatakan itu, Murdoch tetap berkeras untuk tidak beranggapan bahwa
seniman, atau sentengah seniman, mengemban satu tugas besar terhadap masyarakat.
Seorang warga negara memang memikul tugas kemasyarakatan, dan seorang pengarang
memang mungkin kadang-kadang merasa punya keharusan menulis sebuah artikel di
surat kabar untuk membujuk atau meyakinkan masyarakat, namun itu merupakan satu
kegiatan yang lain sifatnya. Kewajiban seorang seniman adalah kepada seni,
mengungkapkan kebenaran melalui media seni yang dipilihnya. Tugas utama seorang
pengarang adalah menciptakan karya-karya sastra sebaik yang dapat dilakukannya,
dan ia harus berusaha untuk dapat melaksanakanya. Sebuah karya teater yang penuh
propaganda dan bersikap acuh tak acuh terhadap seni, mengandung kemungkinan
menjadi sebuah pernyataan yang menyesatkan, walaupun karya teater itu diilhami
oleh sekian prinsip yang baik. Apabila seni yang betul-betul seni dijadikan
sebagai tujuan, kata Murdoch lebih lanjut, maka keadilanlah yang harus dijadikan
tujuan utama.
Sebuah tema sosial yang ditampilkan melalui satu bentuk karya seni, besar
kemungkinan akan menjadi lebih jelas ditangkap maksudnya walaupun tema itu
barangkali kurang mengandung daya untuk meyakinkan masyarakat. Dan seniman,
sembarang seniman, boleh saja secara sambil lalu melayani masyarakat dengan
mengungkapkan hal-hal yang tidak diperhatikan atau difahami oleh masyarakat
tersebut. Dalam setiap masyarakat, kata Murdoch, terdapat propaganda, memiliki
kemungkinan-kemungkinan propaganda, sehingga kemampuan untuk membedakan
propaganda ini, termasuk usaha melestarikan kesucian serta kemandirian penerapan
praktek-praktek seni adalah penting sekali. Satu masyarakat yang baik, demikian
Murdoch, adalah masyarakat di mana para senimannya bisa melakukan berbagai hal
yang berlainan. Masyarakat yang buruk, adalah masyarakat yang menindas kebebasan
seniman karena masyarakat itu tahu bahwa seniman bisa mengungkapkan berbagai
kebenaran
.