ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN ANAK DENGAN ATRESIA ANI

Rabu, Juni 09, 2010

Pendahuluan
      Atresia ani termasuk dalam beberapa bentuk dari malformasi anorektal. Malformasi ini merupakan hal yang biasa terjadi sebagai malformasi kongenital yang disebabkan oleh perkembangan yang tidak normal. Insidensi minor abnormalitas terjadi sekitar 1:500 per kelahiran hidup dan insidensi mayor anomali sekitar 1:5000 kelahiran hidup.
    Imperforate anus (atresia ani) meliputi beberapa gabungan malformasi rektum termasuk malformasi traktus urinarius, esophagus dan duodenum (biasanya jarang) yang tanpa adanya gejala yang jelas dan beberapa memiliki fistula dari rectum distal ke perineum atau sistem genitourinari.
Ekstropi kloaka merupakan bentuk yang jarang dari malformasi sistem genitourinari, sistem genitalia dan usus, yang mengalir langsung ke saluran yang berhubungan dengan perineum.
Malformasi anorectal mungkin saja terjadi secara terpisah dan bisa juga sebagai bagian dari Vacterl syndrom (Vertebral, Anorectal, Cardiovaskuler, Thracheoesophageal, Renal, dan Limb Abnormalities).

Definisi
Menurut kamus kedokteran, Atresia berarti tidak adanya lubang pada tempat yang seharusnya berlubang. Sehingga atresia ani berarti tidak terbentuknya lubang pada anus.

Klasifikasi
  •  Anomali bawah
Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis, terdapat spingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal, dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinari.
  • Anomali intermediate
Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborektalis, lesung anal dan spingter eksternal berada pada posisi yang normal.
  • Anomali tinggi
Ujung rektum diatas otot puborektalis, dan spingter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistula genitourinarius rektouretral (pria) atau rektovaginalis (wanita).


Patofisiologi
    Selama perkembangan embrio, kloaka menjadi jalur utama untuk perkembangan sistem urinari, genital, dan rektal. Pada usia kehamilan 6 minggu (ada juga sumber yang menyebutkan 7 minggu), kloaka terbagi menjadi 2 bagian, yaitu sinus urogenital anterior dan rektal dengan urorektal septum. Setelah lateral folds bergabung dengan septum urorektal, pemisahan urinari dari segmen rektal terjadi, yaitu membran urogenital ke arah ventral dan membran anal ke arah dorsal. Berhentinya perkembangan ini akan mengakibatkan perpindahan rektum pada posisi normal perineal menjadi terhambat. Selama usia kehamilan ini, bagian urogenital pada kloaka sudah membuka ke arah eksternal, tetapi membran anal tidak akan ruptur sampai proses ini selesai. Anus berkembang dengan invaginasi eksternal yang dikenal sebagai proctodeum yang masuk ke dalam rektum tetapi terhalang oleh membran anal. Membran ini akan ruptur sampai usia kehamilan 8 minggu.
     Rectal atresia terjadi pada saat proctodeum (saluran anal) berkembang dengan normal tetapi gagal untuk berkomunikasi dengan rektum, rektum mungkin terpisah dari jarak yang substansial atau hanya ada diaprahma mukosa. Biasanya tidak ada fistula. Pada kelainan retrokloakal, uretra membuka ke arah anterior menuju saluran vaginal, dan rektum membuka ke arah posterior menuju saluran yang sama. Hanya yang satu orifisium yang tampak, uretra maupun rektum tak terlihat.
Cloakal Exstrophy adalah gabungan antara ekstrofi bladder, anus imperforata, kelainan perkembangan atau tidak adanya colon dan malformasi genitalia eksternal. Supralevator anomali tinggi sebagian besar terjadi pada anak laki-laki dan biasanya terbentuk fistula diantara rektum dengan akhiran usus proksimal dan prostat urethra. Bila supralevator terjadi pada anak perempuan, biasanya terdapat fistula yang menghubungkan antara rektum dengan posterior vaginal fernix. Pada translevator anomali rendah, usus telah diubah menjadi levator otot anus, internal dan aksternal sphingter ada dan berkembang dengan baik dan fungsinya normal. Pada anak laki-laki terdapat kulit atau membran yang menutup anus (biasa disebut “covered anus”).
Tanda atresia ani antara lain: bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam dan sejak lahir tidak ada defekasi mekonium, distensi abdomen.

Pemeriksaan
     Pemeriksaan fisik: Anus tampak merah, Usus melebar, kadang-kadang tampak ileus obstruksi. Termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan. Pada auskultasi terdengan hiperperistaltik. Ketiadaan secara komplit ciri-ciri anal, perineum yang rata dan ketiadaan spingter eksternal ketika stimulasi generalmengindikasikan intermediate atau lesi tinggi.
Pemeriksaan endoskopi dan digital: mengidentifikasi konstriksi atau sembunyinya kantong perut dari atresia rectal. Stenosis mungkin muncul tak jelas sampai usia 1 tahun atau lebih pada anak yang mempunyai riwayat defekasi sulit, distensi abdominal, dan ribbon likestool (feses berbentuk pita).
Pemeriksaan radiologis, ditemukan:
  • Udara dalam usus terhenti tiba-tiba yang menadakan terdapat obstruksi di daerah tersebut.
  •  Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bayi baru lahir. Dari gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia rekti atau anus imperforatus. Pada bayi dengan anus imperforatus, gambaran udara terhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon, atau rektum.
  • Dibuat foto anteroposterior (AP) dan lateral, bayi diangkat dengan kepala di bawah dan kaki diatas (Wangensteen dan Rice). Pada anus diletakkan benda yang radioopak sehingga pada foto daerah antara benda radioopak dengan bayangan udara yang tertinggi dapat di ukur.

Penanganan
  •  Pada stenosis anal dapat dikoreksi dengan dilatasi manual. Prosedur ini dilakukan oleh perawat selama di RS, dan setelah pulang dilakukan oleh orang tua pasien setelah dilatih oleh perawat.
  •  Imperforata anal dimana usus masih mempunyai hubungan yang tepat dengan levator ani, anus dapat dikoreksi dengan memotong/menghilangkan mukokutaneosis.
  • Pada intermediate anorektal malformasi, rekonstruksi dilakukan sesuai dengan tempat kelainan. Hal utama yang harus diperhatikan adalah tempat berakhirnya rektum dan hubungannya dengan area puborektal yang menyandang otot levator ani. Penanganan dimulai dari kolostomi kemudian dilanjutkan dengan pembedahan/pembuatan lubang anus pada umur 3-6 bulan, bahkan 1 tahun pada saat anak mulai belajar toilet training.
  • Pembuatan lubang anus harus pada area eksternal sphingter dan penempatan usus pada puborektal harus sesuai dengan anomali tubuh. Adanya fistula juga harus diperhatikan sebelum dilakukan operasi rekonstruksi untuk mencegah adanya kentaminasi fekal pada saluran genitourinari.
  •  Setelah post operatif, hal utama yang harus diperhatikan adalah masalah konstipasi yang disebabkan oleh defisit neurologi akan kontrol defekasi. Berkurangnya sensasi defekasi pada rektum akan menyebabkan fekal image dan paradoxal diare. Masalah ini dapat dibatasi dengan melatih anak untuk defekasi secara teratur dalam kesehariannya. Enema juga kadang-kadang diperlukan untuk membersihkan kolon.
KEMUNGKINAN DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL
PADA ATRESIA ANI:

1. Inkontinensia bowel b.d. abnormalitas spingter rektal (atresia ani)
2. Risiko kerusakan integritas kulit b.d pengeluaran sekret feses.
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan memasukkan makanan, mencerna makanan.
4. Resiko infeksi b.d prosedur invasif, operasi kolostomi.
5. Kurang pengetahuan tentang kolostomi dan perawatannya b. d. kurangnya paparan informasi, misinterpretasi informasi, dan ketidakfamiliaran terhadap sumber informasi.

Read more...

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN ANAK DENGAN ASFIKSIA NEONATORUM


A.    DEFINISI
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang mengalami kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.

B.     ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena gangguan pertukaran gas transport O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat ganguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama kehamilan, atau secara mendadak karena hal-hal yang diderita ibu dalam persalinan.
Gangguan menahun dalam kehamilan dapat berupa gizi ibu yang buruk, penyakit menahun seperti anemia, hipertensi, jantung dll. Faktor-faktor yang timbul dalam persalinan yang bersifat mendadak yaitu faktor janin berupa gangguan aliran darah dalam tali pusat karena tekanan tali pusat, depresi pernapasan karena obat-obatan anestesia/ analgetika yang diberikan ke ibu, perdarahan intrakranial, kelainan bawaan seperti hernia diafragmatika, atresia saluran pernapasan, hipoplasia paru-paru dll. Sedangkan faktor dari pihak ibu adalah gangguan his misalnya hipertonia dan tetani, hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, hipertensi pada eklamsia, ganguan mendadak pada plasenta seperti solusio plasenta.
Towel (1996) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan pernapasan paa bayi terdiri dari :
1.      Faktor ibu
a.      Hipoksia ibu
Dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau anestesi dalam, dan kondisi ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
b.      Gangguan aliran darah uterus
Berkurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkutangnya aliran oksigen ke plasenta dan juga ke janin, kondisi ini sering ditemukan pada gangguan kontraksi uterus, hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, hipertensi pada penyakit eklamsi dsb.
2.      Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta, asfiksis janin dapat terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya perdarahan plasenta, solusio plasenta dsb.
3.      Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan talipusat menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara jalan lahir dan janin, dll.
4.      Faktor neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal yaitu pemakaian obat anestesi yang berlebihan pada ibu, trauma yang terjadi saat persalinan misalnya perdarahan intra kranial, kelainan kongenital pada bayi misalnya hernia diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernapasan, hipoplasia paru, dsb.

C.     TANDA DAN GEJALA
1.      Hipoksia
2.      RR> 60 x/mnt atau < 30 x/mnt
3.      Napas megap-megap/gasping sampai dapat terjadi henti napas
4.      Bradikardia
5.      tonus otot berkurang
6.      Warna kulit sianotik/pucat

D.    PATOFISIOLOGI
Pernapasan spontan bayi baru lahir tergantung pada keadaan janin pada masa hamil dan persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementara. Proses ini sangat perlu untuk merangsang hemoreseptor pusat pernapasan untuk terjadinya usaha pernapasan yang pertama yang kemudian akan berlanjut menjadi pernapasan yang teratur. Pada penderita asfiksia berat usaha napas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya dalam periode apneu. Pada tingkat ini disamping penurunan frekuensi denyut jantung (bradikardi) ditemukan pula penurunan tekanan darah dan bayi nampak lemas  (flasid). Pada asfiksia berat bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak menunjukan upaya bernapas secara spontan. Pada tingkat pertama gangguan pertukaran gas/transport  O2 (menurunnya tekanan O2 darah) mungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik, tetapi bila gangguan berlanjut maka akan terjadi metabolisme anaerob dalam tubuh bayi sehingga terjadi asidosis metabolik, selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler.Asidosis dan gangguan kardiovaskuler dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel-sel otak, dimana kerusakan sel-sel otak ini dapat menimbulkan kematian atau gejala sisa (squele).   

E.     KLASIFIKASI
Asfiksia neonatorum diklasifikasikan sbb:
1.      “Vigorous Baby”
Skor APGAR 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
2.      “Mild Moderate asphyksia” /asphyksia sedang
Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.
3.      Asphyksia berat
Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100 x permenit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada. Pada asphyksia dengan henti jantung yaitu bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung menghilang post partum, pemeriksaan fisik sama pada asphyksia berat.

F.      PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.      Analisa Gas darah
2.      Elektrolit  darah
3.      Gula darah
4.      Baby gram (RO dada)
5.      USG (kepala)

G.    MANAJEMEN TERAPI
Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi bayi baru lahir yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin muncul. Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal dengan ABC resusitasi :
1.  Memastika saluran nafas terbuka :
Ø  Meletakan bayi dalam posisi yang benar
Ø  Menghisap mulut kemudian hidung k/p trakhea
Ø  Bila perlu masukan Et untuk memastikan pernapasan terbuka
2.  Memulai pernapasan :
Ø  Lakukan rangsangan taktil
Ø  Bila perlu lakukan ventilasi tekanan positif
3.  Mempertahankan sirkulasi darah :
Rangsang dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi dada atau bila perlu menggunakan obat-obatan
Cara resusitasi dibagi dalam tindakan umum dan tindakan khusus :
1.      Tindakan umum
a.      Pengawasan suhu
b.      Pembersihan jalan nafas
c.       Rangsang untuk menimbulkan pernafasan
2.      Tindakan khusus
a.      Asphyksia berat
Resusitasi aktif harus segera dilaksanakan, langkah utama memperbaiki ventilasi paru dengan pemberian O2 dengan tekanan dan intermiten, cara terbaik dengan intubasi endotrakeal lalu diberikan O2 tidak lebih dari 30 mmHg. Asphiksia berat hampir selalu disertai asidosis, koreksi dengan bikarbonas natrium 2-4 mEq/kgBB, diberikan pula glukosa 15-20 % dengan dosis 2-4ml/kgBB. Kedua obat ini disuntuikan kedalam intra vena perlahan melalui vena umbilikalis, reaksi obat ini akan terlihat jelas jika ventilasi paru sedikit banyak telah berlangsung. Usaha pernapasan biasanya mulai timbul setelah tekanan positif diberikan 1-3 kali, bila setelah 3 kali inflasi tidak didapatkan perbaikan pernapasan atau frekuensi jantung, maka masase jantung eksternal dikerjakan dengan frekuensi 80-100/menit. Tindakan ini  diselingi ventilasi tekanan dalam perbandingan 1:3 yaitu setiap kali satu ventilasi tekanan diikuti oleh 3 kali kompresi dinding toraks, jika tindakan ini tidak berhasil bayi harus dinilai kembali, mungkin hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan asam dan basa yang belum dikoreksi atau gangguan organik seperti hernia diafragmatika atau stenosis jalan nafas.
b.      Asphyksia sedang
Stimulasi agar timbul reflek pernapsan dapat dicoba, bila dalam waktu 30-60 detik tidak timbul pernapasan spontan, ventilasi aktif harus segera dilakukan, ventilasi sederhana dengan kateter O2 intranasaldengan aliran 1-2 lt/mnt, bayi diletakkan dalam posisi dorsofleksi kepala. Kemudioan dilakukan gerakan membuka dan menutup nares dan mulut disertai gerakan dagu keatas dan kebawah dengan frekuensi 20 kali/menit, sambil diperhatikan gerakan dinding toraks dan abdomen. Bila bayi memperlihatkan gerakan pernapasan spontan, usahakan mengikuti gerakan tersebut, ventilasi dihentikan jika hasil tidak dicapai dalam 1-2 menit, sehingga ventilasi paru dengan tekanan positif secara tidak langsung segera dilakukan, ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan dari mulut ke mulut atau dari ventilasi ke kantong masker. Pada ventilasi dari mulut ke mulut, sebelumnya mulut penolong diisi dulu dengan O2, ventilasi dilakukan dengan frekuensi 20-30 kali permenit dan perhatikan gerakan nafas spontan yang mungkin timbul. Tindakan dinyatakan tidak berhasil jika setelah dilakukan berberapa saat terjasi penurunan frekuensi jantung atau perburukan tonus otot, intubasi endotrakheal harus segera dilakukan, bikarbonas natrikus dan glukosa dapat segera diberikan, apabila 3 menit setelah lahir tidak memperlihatkan pernapasan teratur, meskipun ventilasi telah dilakukan dengan adekuat.

H.    DIAGNOSIS KEPERAWATAN YANG SERING MUNCUL
1.      Bersihan nafas tidak efektif
2.      Pola nafas bayi tidak efektif  b.d kelemahan otot pernapasan
3.      Risiko infeksi b.d prosedur infasif
4.      Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh  b.d kelemahan
5.      PK : Asidosis
6.      Hipotermia b.d pajanan lingkungan yang dingin, bayi baru lahir




Daftar Pustaka

Cecily L.Betz & Linda A. Sowden, 2001, Buku saku Keperawatan Pediatri, EGC, Jakarta.
Carpenito,LJ, 1999, Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, EGC, Jakarta.
Komite Medik RSUP Dr. Sardjito, 1999, Standar Pelayanan Medis RSUP. Dr. Sardjito, Medika Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, Indonesia.
Markum,AH, 1991, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, FK UI, Jakarta, Indonesia
McCloskey J.C, Bulechek G.M, 1996, Nursing Intervention Classification (NIC), Mosby, St. Louis.
Nanda, 2001, Nursing Diagnoses : Definition and Classification 2001-2002, Philadelphia.
Price & Wilson,1995, Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, EGC, Jakarta

Read more...

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN ANAK DENGAN FEBRIS DEMAM

A. PENGERTIAN
Menurut Suriadi (2001), demam adalah meningkatnya temperatur suhu tubuh secara abnormal.
Tipe demam yang mungkin kita jumpai antara lain :
1. Demam septik
Suhu badan berangsur naik ketingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ketingkat diatas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ketingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.
2. Demam remiten
Suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Penyebab suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat demam septik.
3. Demam intermiten
Suhu badan turun ketingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi dalam dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari terbebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana.
4. Demam kontinyu
Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
5. Demam siklik
Terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh beberapa periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.
Suatu tipe demam kadang-kadang dikaitkan dengan suatu penyakit tertentu misalnya tipe demam intermiten untuk malaria. Seorang pasien dengan keluhan demam mungkin dapat dihubungkan segera dengan suatu sebab yang jela seperti : abses, pneumonia, infeksi saluran kencing, malaria, tetapi kadang sama sekali tidak dapat dihubungkan segera dengan suatu sebab yang jelas. Dalam praktek 90% dari para pasien dengan demam yang baru saja dialami, pada dasarnya merupakan suatu penyakit yang self-limiting seperti influensa atau penyakit virus sejenis lainnya. Namun hal ini tidak berarti kita tidak harus tetap waspada terhadap inveksi bakterial.

B. ETIOLOGI
Penyebab demam selain infeksi juga dapat disebabkan oleh keadaan toksemia, keganasan atau reaksi terhadap pemakaian obat, juga pada gangguan pusat regulasi suhu sentral (misalnya: perdarahan otak, koma). Pada dasarnya untuk mencapai ketepatan diagnosis penyebab demam diperlukan antara lain: ketelitian penggambilan riwayat penyakit pasien, pelaksanaan pemeriksaan fisik, observasi perjalanan penyakit dan evaluasi pemeriksaan laboratorium.serta penunjang lain secara tepat dan holistik.
Beberapa hal khusus perlu diperhatikan pada demam adala cara timbul demam, lama demam, tinggi demam serta keluhan dan gejala lian yang menyertai demam.
Demam belum terdiagnosa adalah suatu keadaan dimana seorang pasien mengalami demam terus menerus selama 3 minggu dan suhu badan diatas 38,3 derajat celcius dan tetap belum didapat penyebabnya walaupun telah diteliti selama satu minggu secara intensif dengan menggunakan sarana laboratorium dan penunjang medis lainnya.
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Sebelum meningkat ke pemeriksaan yang lebih mutakhir yang siap untuk digunakan seperti ultrasonografi, endoskopi atau scanning, masih dapat diperiksa uji coba darah, pembiakan kuman dari cairan tubuh/lesi permukaan atau sinar tembus rutin. Dalam tahap melalui biopsi pada tempat-tempat yang dicurigai. Juga dapat dilakukan pemeriksaan seperti anginografi, aortografi atau limfangiografi.
D. PENATALAKSANAAN THERAPEUTIK
1. Antipiretik
2. Anti biotik sesuai program
3. Hindari kompres alkohol atau es
E. PENGKAJIAN
1. Melakukan anamnese riwayat penyakit meliputi: sejak kapan timbul demam, gejala lain yang menyertai demam (miasalnya: mual muntah, nafsu makan, diaforesis, eliminasi, nyeri otot dan sendi dll), apakah anak menggigil, gelisah atau lhetargi, upaya yang harus dilakukan.
2. Melakukan pemeriksaan fisik.
3. Melakukan pemeriksaan ensepalokaudal: keadaan umum, vital sign.
4. Melakukan pemeriksaan penunjang lain seperti: pemeriksaan laboratotium, foto rontgent ataupun USG.
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hyperthermia berhubungan dengan proses infeksi.
2. Resiko injuri berhubungan dengan infeksi mikroorganisme.
3. Resiko kurang cairan berhubungan dengan intake yang kurang dan diaporsis.

Read more...

POLIP HIDUNG

Minggu, Mei 16, 2010

Pengertian :
Polip hidung adalah massa yang lunak, berwarna putih atau keabu-abuan yang terdapat dalam rongga hidung.

Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat hipersensitifitas atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi terhadap kejadian polip hidung belum diketahui dengan pasti tetapi tidak ada keraguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal serinkali ditemuakan bersamaan dengan adanya polip.
Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang terjadai pada anak-anak . Polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis (mucoviscidosis)

Patofisiologi
Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang terdiri atas cairan interseluler dan kemudian terdorong ke dalam rongga hidung dan gaya berat.
Polip dapat timbul dari bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali bilateral. Polip hiung paling sering berasal dari sinus maksila (antrum) dapat keluar melalui ostium sinus maksilla dan masuk ke ronga hidung dan membesar di koana dan nasopharing. Polip ini disebut polip koana.
Secara makroskopik polip tershat sebagai massa yang lunak berwarna putih atau keabu-abuan. Sedangkan secara mikroskopik tampak submukosa hipertropi dan sembab. Sel tidak bertambah banyak dan terutama terdiri dari sel eosinofil, limfosit dan sel plasma sedangkan letaknya berjauhan dipisahkan oleh cairan interseluler. Pembuluh darah, syaraf dan kelenjar sangat sedikit dalam polip dan dilapisi oleh epitel throrak berlapis semu.

Reaksi Alergi/Hipersensitivitas
I
I
Edema mukosa nasal
(Pembengkakan mukosa hidung)
I
I
Persisten
I
I
Polip Hidung
I
I
Ggn. Pola nafas




Gejala Klinik :
- Sumbatan hidung
- Hiposmia / anosmia
- Sinusitis, nyeri kepala, rinorhea
- Alergi; berupa bersin-bersin dan iritasi


Pengobatan :
Polip yang masih kecl dapat diobati dengan kortikosteroid (secara konservatif) baik lokal maupun secara sistemik. Pada polip yang cukup besar dan persisten dilakukan tindakan operatif berupa pengangkatan polip (polipectomy).
Dalam kejadian polip berulang maka dilakukan etmoidectomy baik intranasal maupun ekstranasal.

Proses Keperawatan

Pengkajian
AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Gejala : Kelelahan, kelemahan atau malaise umum
Tanda : Penurunan kekuatan, menunjukkan kelelahan

SIRKULASI
Gejala Lelah, pucat atau tidak ada tanda sama sekali
Tanda Takikardia, disritmia.
Pucat (anemia), diaforesis, keringat malam.

INTEGRITAS EGO
Gejala Masalah finansial : biaya rumah sakit, pengobatan .
Tanda Berbagai perilaku, misalnya marah, menarik diri, pasif

MAKANAN/CAIRAN
Gejala Anoreksia/kehilangan nafsu makan
Adanya penurunan berat badan sebanyak 10% atau lebih dari berat badan dalam 6 bulan sebelumnya dengan tanpa upaya diet.
Tanda -

NYERI/KENYAMANAN
Gejala Nyeri tekan/nyeri pada daerah hidung
Tanda Fokus pada diri sendiri, perilaku berhati-hati.

PERNAPASAN
Gejala Dispnea
Tanda Dispnea, takikardia
Pernafasan mulut
Tanda distres pernapasan, sianosis.(bila obstruksi total)
Terdapat pembesaran polip


1. Rencana Keperawatan
PRIORITAS KEPERAWATAN
1. Memberikan dukungan fisik dan psikologi selama tes diagnostik dan program pengobatan.
2. Mencegah komplikasi
3. Menghilangkan nyeri
4. Memberikan informasi tentang penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan

TUJUAN PEMULANGAN
1. Komplikasi dicegah/menurun
2. Nyeri hilang/terkontrol
3. Proses penyakit/prognosis, kemungkinan komplikasi dan program pengobatan di pahami.

Diagnosa Keperawatan Pola Pernapasan/Bersihkan Jalan Napas, Tak Efektif Resiko Tinggi Terhadap
Hasil Yang Diharapkan/Kriteria Evaluasi Pasien Akan Mempertahankan Pola Pernapasan Normal/Efektif Bebas Dispnea, Sianosis Atau Tanda Lain Distres Pernapasan

Read more...

LABIOPALATO SCHISIS

A. Pengertian
Labioschizis terdiri dari dua pengertian yaitu:
1. Labioshizis (bibir sumbing) adalah suatu celah yang membentang dari bibir atas kadang- . kadang sampai lubang hidung, bisa uni-lateral atau bi-lateral
2. Palatoschizis (sumbing langit-langit mulut) adalah bagian lateral palatum gagal bertemu satu sama lain sehingga tidak terjadi pernyataan (fusi) digaris tengah, keadaan ini menimbulkan patoschizis dengan demikian rongga mulut berhubungan dengan rongga hidung.
Kelainan seperti tersebut diatas bisa terjadi Labioschizis saja atau Palatischizis saja bahkan bisa kedua-duanya. Cacat in terjadi pada minggu kelima masa gestasi (dalam kandungan).

B. Tanda dan gejala
1. Adanya celah bibir pada tulang rawan cuping hidung
2. Celah langit-langit sehingga bisa menyebabkan terjadinya aspirasi dan tidak tecukupinya pembeian makanan, kesulitan mengeluarkan kata-kata atau suara ekplosif sehingga p,b,t,d,h atau hurud berdesis sepeti s, sh, c
3. Pergerakan kedua cuping hidung pad waktu bicara ketidakmampuan bersiul berkumur-kumur meniup lilin atau meniup sebuah balon
C. Patofisiologi
1. Labioshizis
Orifisio oralis primer dimodifikasi menjadi mulut dengan hidung oleh procesus maxilaris lateralis yang terbentuk dan kemudian tumbuh kearah medial. Palatum dan bibit sebelah atas dibentuk oleh processus maxilaris yang bertemu dengan processus nasalis yang tumbuh kebawah. Kegagalan tulang maxilaris dan naasalis untuk tumbuh bersama dan menyatu menyebabkan menetapnya celah.

2. Palatoschizis
Bagian lateral dari palatum gagal bertemu processus nasalis sehingga tidak terjadi penyatuan digaris tengah. Dengan demikian rongga mulut berhubungan dengan rongga hidung. Derajat palatum yang ringan hanya mengenai palatum mole saja.

Penyebab Labioschizis dikarenakan:
1. Faktor Genetik
2. Obat-obatan (terutama Cortikosteroid)
3. Radiasi
4. Hypoxia In-Uteri
5. Penyakit ibu saat mengandung
6. Pengaruh makanan
7. Perubahan seksual karena faktor keturunan
Palatum (langit-langit) terdiri dari 2 bagian yaitu :
1. Palatum Keras
Tersusun atas tajuk-tajuk palatum dari arah depan tulang maxilaris dan dua tulang palatum.
2. Palatum lunak
Lipatan lengantung yang dapat bergerak dan tediri atas otot jaringan fibrus dan selaput lendir.

D. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan bila anak mau dilakukan tindakan medis operasi dan untuk mengetahui kelainan bila ada faktor yang mencolok.
2. Pemeriksaan radiologis

E. Manajemen terapi
Terdapat tiga tahap penanganan labiopalato schisis yaitu tahap sebelum operasi, tahap sewaktu operasi dan tahap setelah operasi. Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh bayi menerima tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan berat badan yang dicapai dan usia yang memadai. Patokan yang biasa dipakai adalah rule of ten meliputi berat badan lebih dari 10 pounds atau sekitar 4-5 kg , Hb lebih dari 10 gr % dan usia lebih dari 10 minggu.
Ketika bayi belum mencapai rule of ten ada beberapa nasehat yang harus diberikan pada orang tua agar kelainan dan komplikasi yang terjadi tidak bertambah parah. Misalnya memberi minum harus dengan dot khusus dimana ketika dot dibalik susu dapat memancar keluar sendiri dengan jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat bayi tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan gizi menjadi tidak cukup, jika dot dengan besar lubang khusus ini tidak tersedia bayi cukup diberi minum dengan bantuan sendok secara perlahan dalam posisi setengah duduk atau tegak untuk menghindari masuknya susu melewati langit-langit yang terbelah. Selain itu celah pada bibir harus direkatkan dengan menggunakan plester khusus non alergenik untuk menjaga agar celah pada bibir menjadi tidak terlalu jauh akibat proses tumbuh kembang yang menyebabkan menonjolnya gusi kearah depan (protrusio pre maksila) akibat dorongan lidah pada prolabium , karena jika hal ini terjadi tindakan koreksi pada saat operasi akan menjadi sulit dan secara kosmetika hasil akhir yang didapat tidak sempurna. Plester non alergenik tadi harus tetap direkatkan sampai waktu operasi tiba.
Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang diperhatikan adalah soal kesiapan tubuh si bayi menerima perlakuan operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh seorang ahli bedah Usia optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah usia 3 bulan Usia ini dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 5-6 bulan sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia tersebut maka pengucapan huruf bibir sudah terlanjur salah sehingga kalau dilakukan operasi pengucapan huruf bibir tetap menjadi kurang sempurna. Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18 – 20 bulan mengingat anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum anak masuk sekolah.
Operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan tindakan speech teraphy karena jika tidak, setelah operasi suara sengau pada saat bicara tetap terjadi karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah.. Bila gusi juga terbelah (gnatoschizis) kelainannya menjadi labiognatopalatoschizis, koreksi untuk gusi dilakukan pada saat usia 8 – 9 tahun bekerja sama dengan dokter gigi ahli ortodonsi
Tahap selanjutnya adalah tahap setelah operasi, penatalaksanaanya tergantung dari tiap-tiap jenis operasi yang dilakukan, biasanya dokter bedah yang menangani akan memberikan instruksi pada orang tua pasien misalnya setelah operasi bibir sumbing luka bekas operasi dibiarkan terbuka dan tetap menggunakan sendok atau dot khusus untuk memberikan minum bayi. Banyaknya penderita bibir sumbing yang datang ketika usia sudah melebihi batas usia optimal untuk operasi membuat operasi hanya untuk keperluan kosmetika saja sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap terganggu seperti sengau dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak sempurna, tindakan speech teraphy pun tidak banyak bermanfaat

1. Prinisip-prinsip umum perbaikan
a. Labioschizis
Labioschizis sebenarnya tidak ada jaringan yang hilang, masalahnya adalah bagaimana membentuk kembali jaringan bibir yang tersedia yang ada tetapi terpisah. Insisi direncanakan untuk membentuk bibir utuh yang terlihat nomal, dan pada saat bersaman memperbaiki deformitas cuping hidung.

b. Palatoschizis
Dalam memperbaiki paltoschizis tidak perlu mendapatkan perstuan tulang, tetapi hanya memindahkan kedua dan mucoperisteum paatum ke garis tengah dan menyatukan. Tujuannya untuk meno belahan tersebut dan untuk memastikan panjang dari patahan mole untuk penutupan velofaringeal yang baik. Jika palatumnakan mencukupi tetapi pada kebanyakan kasus dipelukan suatu operasi pemanjangan palatumnya cukup panjang. Pendekatan kedua belah digaris tengah

2. Prosedur perbaikan tambahan
a. Hidung dan bibir
Mungkin diperukan perbaikan deformitas cupung hidung biasanya cacat pada pendataran cuping hidung pada sisi sumbing, mungkin diinginkan perbaikan kecil pada bagian merah bibir. Pada kasus labiochizis bilateral serta pebaikan hidung karena kulumeta hidung memendek dan ujung hidung tertarik kebawah. Dismping itu bibir atas dan maksia kurang lubang mka rotasi bagian sentral bagian bibir atas menghasilkan kemajuan nyata.
b. Palatum dan faring
Pemendekan palatum karena tidak memadainya penutup angelo faringeal yang merupakan sebab utama dari suara sengau. Pada kasus -kasus ringan cukup dengan prosedur”V-Y”. tetapi pada kebanyakan kasus pelru dilakukan opeasi “Flap aringeal” yaitu peningkatan flap mucos dan oto pada dinding faring posterior dan melekatkanya pada permukaan atas palatum mole yang telah dibedah untuk mempersiapkannya.
Komplikasi yang bisa terjadi :
1. Otitis media berulang
2. Pegeseran lengkung maksila seta mal posisi geligi
3. Kelainan bicara
4. Aspirasi
5. Respiratory distress

BAB II. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN LABIOPALATOSCHISIS
A. PENGKAJIAN
1. Pra Bedah
Pengkajian keperawatan pada pasien pra bedah, pada klie adalah adanya bibir atas dan palatum terbelah universal atau bilateral, kemudian anak tidak dapat menghisap makanan/putting susu ibu. Orang tua merasa sedih karena kelahiran anaknya yang cacat, orang tua tidak bias merawat anaknya, terjadi kesulitan bicara, deformitas gigi yang mencolok.
2. Intra bedah
Pada pengkajian data intra bedah pada klien adalah klien mengalami resiko gangguan homeostasis karena adanya tindakan anestesi, kesadaran akan menurun dan pada proses pembedahan akan terdapat resiko perdarahan.
3. Pasca Bedah
Pengkajian pada pasien pasca operasi adalah data terdapatnya luka operasi pada bgian bibir bagian atas, tangan selalu bergerak kemulut, anak tidak dapat menghisap, anak mengalami keterbatasan gerak, orang tua menyatakan tidak dapat merawatnya.

Read more...

STRUMA

A. Definisi
Struma merupakan suatu pembesaran kelenjar thyroid.

B. Klasifikasi
Secara umum stroma dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Struma non-toksik : struma tanpa disertai hipertiroidisme.
a. Difusa : endemic goiter, gravida
b. Nodusa : neoplasma
2. Struma toksik : struma yang disertai hipertiroidisme
a. Difusa : Grave, Tirotoksikosis primer.
b. Nodusa : Tirotoksikosis sekunder.
Dapat juga dibagi berdasarkan klasifikasi yang lain yaitu:
3. Berdasarkan banyaknya nodul
Bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter atau uninodosa. Bila lebih dari satu disebut struma multinodosa.
4. Bertdasarkan kemampuan menangkap yodium radioaktif.
Disebbut cold nodule bila tidak ada penangkapan yodium atau kurang daro sekitarnya.
Warm nodule bila penangkapan yodium sama seperti jaringan sekitarnya.
Hot nodule bila penangkapan yodium melebihi jaringan sekitarnya.
5. Berdasarkan konsistensinya
Kurang keras sampai sangat keras.
6. Berdasarkan keganasan ( Benigna/non maligna dan maligna )
Adanya keganasan pada struma nodosa nontoksik nodosa dicurigai ialah srtuma endemik atau sporadik, kita tiroid, tiroiditis, tumor tiroid ( endnoma dan karsinoma tiroid ).

C. Etiologi
1. Defisiensi Iodium, seperti pada endemic goiter, gravida.
2. Autoimun : Tiroiditas, Hashimoto.
3. Defisiensi enzyme kongenital : Dyshormonogenetis Goiter.
4. Idiopatik : Struma riedel de Quervein’s, Grave, Neoplasma.
a. Penyebab struma nodusa non toksik bermacam-macam. Pada setiap orang dapat dijumpai massa dimana pertumbuhan kebutuhan terhadap tiroksin bertambah, terutama pada masa pertumbuhan, pubertas, menstruasi, kehamilan, laktasi, menopause, infeksi dan stress lain. Pada masa-masa tersebut dapat ditemui hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid. Perubahan ini dapat menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan arsitektur yang dapat berlanjut dengan berkurangnya aliran darah di daerah tersebut sehingga terjadi iskemia.
b. Adapun penyebab struma difusa toksik, walaupun etiologinya tidak diketahui tampaknya terdapat peran antibody terhadap reseptor TSH yang menyebabkan peningkatan produksi tiroid. Penyakit ini ditandai dengan peninggian penyerapan yodium radioaktif oleh kelenjar tiroid.

D. Manifestasi klinik
Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan, maka tanda dan gejala pasien struma adalah :

a. Status Generalis (umum)
1) Tekanan darah meningkat (systole)
2) Nadi meningkat
3) Mata :
- Exophtalamus
- Stellwag sign : jarang berkedip
- Von Graefe sign : palpebra mengikuti bulbus okuli waktu melihat ke bawah.
- Morbius sign : sukar konvergensi
- Jeffroy sign : tak dapat mengerutkan dahi.
- Rossenbach sign : tremor palpebra jika mata ditutup.
4) Hipertoni simpatis : kulit basah dan dingin, tremor
5) Jantung : takikardi.

b. Status Lokalis : Regio Colli Anterior.
1) Inspeksi : benjolan, warna, permukaan, bergerak waktu menelan.
2) Palpasi :
- permukaan, suhu
- Batas atas----- kartilago tiroid
- Batas bawah --- incisura jugularis
- Batas medial --- garis tengah leher
- Batas lateral --- m.sternokleidomastoid.
3) Struma kistik
- Mengenai 1 lobus
- Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan.
- Kadang multilobularis.
- Fluktuasi (+)
4) Struma Nodusa
- Batas jelas
- Konsistensi : Kenyal sampai keras
- Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarsinoma tiroidea
5) Struma Difusa
- Batas tidak jelas
- Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek.
6) Struma vaskulosa
- Tampak pembuluh darah (biasanya arteri), berdenyut
- Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
- Kelenjar getah bening : Paratracheal Jugular Vein

E. Diagnosa
1. Anamnesa
- Usia dan jenis kelamin
- Benjolan pada leher, lama dan pembesarannya.
- Gangguan menelan, suara serak (gejala penekanan), nyeri.
- Riwayat radiasi di daerah leher dan kepala.
- Asal/tempat tinggal.
- Riwayat keluarga
- Struma toksik : kurus meski banyak makan, irritable, keringat banyak, nervous, palpitasi, tidak tahan udara panas, hipertoni simpatikus (kulit basah, dingin dan tremor halus).
- Struma non toksik : gemuk, malas dan banyak tidur, ganggun pertumbuhan.
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan penunjang
a. Scanning tiroid
- Presentasi uptake dan I131 yang didistribusikan tiroid.
- Dari uptake dapat ditentukan fungsi tiroid
- Uptake normal, 15-40% dalam 24 jam.
- Hot area : uptake > normal, jarang pada neoplasma
Misal pada : struma adenomatosa, adenoma toksik, radang neoplasma.
- Cold area : uptake < normal, sering pada neoplasma. Cold area curiga ganas jika :moth eaten appearance, pada pria usia tua/anak-anak. Contoh : kista, hematoma/perdarahan, radang neoplasma. b. Ultrasonografi : untuk membedakan kelainan kistik/solid (neoplasma biasanya solid). c. Radiologik Foto leher, foto soft-tissue, foto thorak, bone scanning. d. Fungsi tiroid - BMR : (0,75 x N) + (0,74 + IN) – 72% - PB I mendekati kadar hormone tiroid, normal 4-8 mg% - Serum kolesterol meningkat pada hipertiroid (N: 150-300 mg%). - Free tiroksin index : T3/T4 - Hitung kadar FT4¬, TSH, Tiroglobulin, dan Calsitonin bila perlu. e. Potong beku f. Needle biopsy - Large Needle Cutting Biopsy : jarum besar, sering perdarahan. - Fine Needle Aspiration Biopsy : jarum no 22. g. Termografi Yaitu suatu metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat dengan memakai dynamic telethermografi. Pemeriksaan khusus pada curiga keganasan. Hasilnya disebut panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9°C dan dingin apabila < 0,9°C. Pada penelitian Alves dkk didapatkan bahwa pada yang ganas semua hasilnya panas. h. Petanda tumor Yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum. Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 mg/ml. Pada kelainan jinak rata-rata 323 ng/ml dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml. F. Penatalaksanaan Medis Modalitas terapi : 1. Radiasi. 2. Kemoterapi. a) Konservatif dengan Indikasi: - Toleransi operasi tidak baik - Struma yang residif - Pasien usia lanjut. b) Struma non-toksik : Iodium, ekstrak tiroid 30-20 mg/dl c) Struma toksik : Bed rest, lugol 5-10 mg 3xsehari selama 14 hari, PTU 100-200 mg 3xsehari, periksa leukosit. 3. Operatif a) Indikasi : - Curiga/pasti ganas - Timbul tanda-tanda desakan trachea/esophagus. - Struma toksik - Struma besar (kosmetik) - Struma retrosternal - Preventif b) Strumektomi Dilakukan pada stroma yang besar dan menyebabkan keluhan mekanis. Strumektomi juga diindikasikan terhadap kista tiroid yang tidak mengecil setelah dilakukan biopsy aspirasi jarum halus. Juga pada nodul panas dengan diameter > 2,5 mm karena dikhawatirkan mudah timbul hiperoidisme.
c) Terapi lain :
- L- tiroksin selama 4-5 bulan
Diberikan apabila nodul hangat lalu dilakukan pemeriksaan sidik tiroid ulang. Bila nodul mengecil maka terapi diteruskan namun apabila tidak mengecil dilakukan biopsy aspirasi/operasi.
- Biopsi aspirasi jarum halus
Dilakukan pada kista tiroid hingga nodul <10 cm

G. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1. Cemas b.d prosedur pengobatan.
2. Nyeri (akut) b.d kerusakan jaringan (prosedur operatif)
3. Resiko infeksi
4. Gangguan menelan b.d obstruksi partial mekanik
5. Kurang pengetahuan b.d tidak mengenal sumber-sumber informasi.

Read more...

WSD ( Water Seal Drainage )

Pengertian :
Merupakan tindakan invasif yang dialakukan untuk mengeluarkan udara, cairan ( darah, pus ) dari rongga pleura, rongga thoraks, dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.

Indikasi dan tujuan pemasangan WSD
1. Indikasi :
* Pneumotoraks, hemotoraks, empyema
* Bedah paru :
- karena ruptur pleura udara dapat masuk ke dalam rongga pleura
- reseksi segmental msalnya pada tumor, TBC
- lobectomy, misal pada tumor, abses, TBC
2. Tujuan pemasangan WSD
* Memungkinkan cairan ( darah, pus, efusi pleura ) keluar dari rongga pleura
* Memungkinkan udara keluar dari rongga pleura
* Mencegah udara masuk kembali ke rongga pleura yang dapat menyebabkan pneumotoraks
* Mempertahankan agar paru tetap mengembang dengan jalan mempertahankan tekanan negatif pada intra pleura.

Prinsip kerja WSD
1. Gravitasi : Udara dan cairan mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah.
2. Tekanan positif : Udara dan cairan dalam kavum pleura ( + 763 mmHg atau lebih ). Akhir pipa WSD menghasilkan tekanan WSD sedikit ( + 761 mmHg )
3. Suction

Jenis WSD
1. Satu botol
Sistem ini terdiri dari satu botol dengan penutup segel. Penutup mempunyai dua lobang, satu untuk ventilasi udara dan lainnya memungkinkan selang masuk hampir ke dasar botol. Keuntungannya adalah :
- Penyusunannya sederhana
- Mudah untuk pasien yang berjalan
Kerugiannya adalah :
- Saat drainase dada mengisi botol lebih banyak kekuatan yang diperlukan
- Untuk terjadinya aliran tekanan pleura harus lebih tinggi dari tekanan botol
- Campuran darah dan drainase menimbulkan busa dalam botol yang membatasi garis pengukuran drainase
2. Dua botol
Pada sistem dua botol, botol pertama adalah sebagai botol penampung dan yang kedua bekerja sebagai water seal. Pada sistem dua botol, penghisapan dapat dilakukan pada segel botol dalam air dengan menghubungkannya ke ventilasi udara.
Keuntungan :
- Mempertahankan water seal pada tingkat konstan
- Memungkinkan observasi dan pengukuran drainage yang lebih baik

Kerugian :
- Menambah areal mati pada sistem drainage yang potensial untuk masuk ke dalam area pleura.
- Untuk terjadinya aliran, tekanan pleura harus lebih tinggi dari tekanan botol.
- Mempunyai batas kelebihan kapasitas aliran udara pada kebocoran udara.

3. Tiga botol
Pada sistem tiga botol, botol kontrol penghisap ditambahkan ke sistem dua botol. Botol ketiga disusun mirip dengan botol segel dalam air. Pada sistem ini yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ketiga dan bukan jumlah penghisap di dinding yang menentukan jumlah penghisapan yang diberikan pada selang dada. Jumlah penghisap di dinding yang diberikan pada botol ketiga harus cukup unutk menciptakan putaran-putaran lembut gelembung dalam botol. Gelembung kasar menyebabkan kehilangan air, mengubah tekanan penghisap dan meningkatkan tingkat kebisingan dalam unit pasien. Untuk memeriksa patensi selang dada dan fluktuasi siklus pernafasan, penghisap harus dilepaskan saat itu juga.
Keuntungan :
- sistem paling aman untuk mengatur pengisapan.
Kerugian :
- Lebih kompleks, lebih banyak kesempatan untuk terjadinya kesalahan dalam perakitan dan pemeliharaan.
- Sulit dan kaku untuk bergerak / ambulansi

4. Unit drainage sekali pakai
* Pompa penghisap Pleural Emerson
Merupakan pompa penghisap yang umum digunakan sebagai pengganti penghisap di dinding. Pompa Penghisap Emerson ini dapat dirangkai menggunakan sistem dua atau tiga botol.
Keuntungan :
- Plastik dan tidak mudah pecah
Kerugian :
- Mahal
- Kehilangan water seal dan keakuratan pengukuran drainage bila unit terbalik.
* Fluther valve
Keuntungan :
- Ideal untuk transport karena segel air dipertahankan bila unit terbalik
- Kurang satu ruang untuk mengisi
- Tidak ada masalah dengan penguapan air
- Penurunan kadar kebisingan
Kerugian :
- Mahal
- Katup berkipas tidak memberikan informasi visual pada tekanan intra pleural karena tidak adanya fluktuasi air pada ruang water seal.
* Calibrated spring mechanism
Keuntungan :
- Idem
- Mampu mengatasi volume yang besar
Kerugian
- Mahal

Tempat pemasangan WSD
1. Bagian apeks paru ( apikal )
2. Anterolateral interkosta ke 1- 2 untuk mengeluarkan udara bagian basal
3. Posterolateral interkosta ke 8 – 9 untuk mengeluarkan cairan ( darah, pus ).


Persiapan pemasangan WSD
* Perawatan pra bedah
1. Menentukan pengetahuan pasien mengenai prosedur.
2. Menerangkan tindakan-tindakan pasca bedah termasuk letak incisi, oksigen dan pipa dada, posisi tubuh pada saat tindakan dan selama terpasangnya WSD, posisi jangan sampai selang tertarik oleh pasien dengan catatan jangan sampai rata/ miring yang akan mempengaruhi tekanan.
3. Memberikan kesempatan bagi pasien untuk bertanya atau mengemukakan keprihatinannya mengenai diagnosa dan hasil pembedahan.
4. Mengajari pasien bagaimana cara batuk dan menerangkan batuk serta pernafasan dalam yang rutin pasca bedah.
5. Mengajari pasien latihan lengan dan menerangkan hasil yang diharapkan pada pasca bedah setelah melakukan latihan lengan.

* Persiapan alat
1. Sistem drainase tertutup
2. Motor suction
3. Selang penghubung steril
4. Cairan steril : NaCl, Aquades
5. Botol berwarna bening dengan kapasitas 2 liter
6. Kassa steril
7. Pisau jaringan
8. Trocart
9. Benang catgut dan jarumnya
10. Sarung tangan
11. Duk bolong
12. Spuit 10 cc dan 50 cc
13. Obat anestesi : lidocain, xylocain
14. Masker

* Perawatan pasca bedah
Perawatan setelah prosedur pemasangan WSD antara lain :
1. Perhatikan undulasi pada selang WSD
2. Observasi tanda-tanda vital : pernafasan, nadi, setiap 15 menit pada 1 jam pertama
3. Monitor pendarahan atau empisema subkutan pada luka operasi
4. Anjurkan pasien untuk memilih posisi yang nyaman dengan memperhatikan jangan sampai selang terlipat
5. Anjurkan pasien untuk memegang selang apabila akan mengubah posisi
6. Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu
7. Ganti botol WSD setiap tiga hari dan bila sudah penuh, catat jumlah cairan yang dibuang
8. Lakukan pemijatan pada selang untuk melancarkan aliran
9. Observasi dengan ketat tanda-tanda kesulitan bernafas, cynosis, empisema.
10. Anjurkan pasiuen untuk menarik nafas dalam dan bimbing cara batuk yang efektif
11. Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh

Bila undulasi tidak ada, ini mempunyai makna yang sangat penting karena beberapa kondisi dapat terjadi antara lain :
1. Motor suction tidak jalan
2. Selang tersumbat atau terlipat
3. Paru-paru telah mengembang
Oleh karena itu harus yakin apa yang menjadi penyebab, segera periksa kondisi sistem drainase, amati tanda-tanda kesulitan bernafas.


Cara mengganti botol WSD
1. Siapkan set yang baru. Botol yang berisi aguades ditambah desinfektan.
2. Selang WSD diklem dulu
3. Ganti botol WSD dan lepas kembali klem
4. Amati undulasi dalam selang WSD.

Indikasi pengangkatan WSD
1. Paru-paru sudah reekspansi yang ditandai dengan :
- Tidak ada undulasi
- Tidak ada cairan yang keluar
- Tidak ada gelembung udara yang keluar
- Tidak ada kesulitan bernafas
- Dari rontgen foto tidak ada cairan atau udara
2. Selang WSD tersumbat dan tidak dapat diatasi dengan spooling atau pengurutan pada selang.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN WSD

1. Pengkajian
a. Sirkulasi
- Taki kardi, irama jantung tidak teratur ( disaritmia )
- Suara jantung III, IV, galop / gagal jantung sekunder
- Hipertensi / hipotensi
b. Nyeri
Subyektif :
- Nyeri dada sebelah
- Serangan sering tiba-tiba
- Nyeri bertambah saat bernafas dalam
- Nyeri menyebar ke dada, badan dan perut
Obyektif
- Wajah meringis
- Perubahan tingkah laku
c. Respirasi
Subyektif :
- Riwayat sehabis pembedahan dada, trauma
- Riwayat penyakit paru kronik, peradangan, infeksi paru, tumor, biopsi paru.
- Kesulitan bernafas
- Batuk
Obyektif :
- Takipnoe
- Peningkatan kerja nafas, penggunaan otot bantu dada, retraksi interkostal.
- Fremitus fokal
- Perkusi dada : hipersonor
- Pada inspeksi dan palpasi dada tidak simetris
- Pada kulit terdapat sianosis, pucat, krepitasi subkutan
d. Rasa aman
- Riwayat fraktur / trauma dada
- Kanker paru, riwayat radiasi / khemotherapi
e. Pengetahuan
- Riwayat keluarga yang mempunyai resiko tinggi seperti TB, Ca.
- Pengetahuan tentang penyakit, pengobatan, perawatan.

2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan
Dx.1. Tidak efektifnya pola nafas sehubungan dengan :
- Penurunan ekspansi paru
- Penumpukan sekret / mukus
- Kecemasan
- Proses peradangan
Ditandai dengan :
- Dyspnoe, takipnoe
- Nafas dalam
- Menggunakan otot tambahan
- Sianosis, arteri blood gas abnormal ( ABGs )
Kriteria evaluasi
- Pernafasan normal / pola nafas efektif dengan tidak adanya sianosis, gejala hipoksia dan pemeriksaan ABGs normal.

Intervensi keperawatan dan rasionalisasi
Independen
a. Identifikasi faktor presipitasi, misal :
- Kolaps spontan, trauma keganasan, infeksi komplikasi dari mekanik pernafasan
Memahami penyebab dari kolaps paru sangat penting untuk mempersiapkan WSD pada ( hemo/pneumotoraks ) dan menentukan untk terapi lainnya.
b. Evaluasi fungsi respirasi, catat naik turunnya/pergerakan dada, dispnoe, kaji kebutuhan O2, terjadinya sianosis dan perubahan vital signs.
Tanda-tanda kegagalan nafas dan perubahan vital signs merupakan indikasi terjadinya syok karena hipoksia, stress dan nyeri.
c. Auskultasi bunyi pernafasan
- Kemungkinan akibat dari berkurangnya atau tidak berfungsinya lobus, segmen, dan salah satu dari paru-paru
- Pada daerah atelektasis suara pernafasan tidak terdengar tetapi bila hanya sebagian yang kolaps suara pernafasan tidak terdengar dengan jelas.
- Hal tersebut dapat menentukan fungsi paru yang baik dan ada tidaknya atelektasis paru.
d. Catat pergerakan dada dan posisi trakea
Pergerakan dada yang terjadi pada saat inspirasi maupun ekspirasi tidak sama dan posisi trakea akan bergeser akibat adanya tekanan peumotoraks.
e. Kaji fremitus
Suara dan fibrasi fremitus dapat membedakan antara daerah yang terisi cairan dan adanya pemadatan jaringan
f. Bantu pasien dengan menekan pada daerah yang nyeri sewaktu batuk dan nafas dalam
Dengan penekanan akan membantu otot dada dan perut sehingga dapat batuk efektif dan mengurangi trauma
g. Pertahankan posisi yang nyaman dengan kepala lebih tinggi dari kaki
- Miringkan dengan arah yang sesuai dengan posisi cairan / udara yang ada di dalam rongga pleura
- Bantu untuk mobilisasi sesuai dengan kemampuannya secara bertahap dan beri penguatan setiap kali pasien mampu melaksanakannya.
Mendukung untuk inspirasi maksimal, memperluas ekspirasi paru-paru dan ventilasi.
h. Bantu pasien untuk mengatasi kecemasan /ketakutan dengan mempertahankan sikap tenang, membantu pasien untk mengontrol dengan nafas dalam.
Kecemasan disebabkan karena adanya kesulitan dalam pernafasan dan efek psikologi dari hipoksia.

Bila WSD terpasang
* Cek ruang kontrol suction untuk jumlah cairan yang keluar dengan tepat ( untuk batas air dinding regulator terpasang dengan benar ).
Mempertahankan tekanan negatif intra pleural dengan mempertahankan ekspansi paru secara optimal atau dari drainage cairan.
* Cek batas cairan dari botol WSD, pertahankan dan tentukan pada batas yang telah ditetapkan.
Cairan dalam botol WSD untuk mencegah terjadi tekanan udara dalam rongga pleura pada waktu suction tidak digunakan dan sebagai alat untuk evaluasi apakah sistem drainage berfungsi atau tidak.
* Observasi gelembung udara pada botol WSD
- Gelembung udara merupakan udara yang keluar akibat adanya reflek ekspansi pada pneumotoraks. Gelmbung udara biasanya terjadi sebagai akibat dari penurunan pengembangan paru atau terjadi selama ekspansi atau batuk pada fungsi rongga pleura menurun.
- Tidak ditemukannya gelembung udara berarti ekspansi paru normal atau terjadi hambatan seperti obstruksi pada selang.
* Evaluasi gelembung udara yang terjadi.
Dengan suction yang terpasang dapat mengidikasikan adanya kebocoran udarayang menetap mungkin dari pneumotoraks yang luas, luka insersi dari selang atau dari sistem WSD.
* Tentukan lokasi kebocoran pada pasien atau WSD ( dengan memasang klem pada selang kateter toraks distal ) dengan sedikit ditarik keluar.
Apakah bubbling terhenti ketika kateter di klem, maka kebocoran terjadi pada klien.
* Catat jumlah cairan yang keluar dari botol WSD
Rongga WSD menunjukkan adanya tekanan intra pleura dimana terjadi perbedaan tekanan pada waktu inspirasi dan ekspirasi. Perbedaan tersebut normal 2 – 6 cm.
* Monitor untuk undulasi abnormal dan catat apabila ada perubahan yang menetap atau sementara.
Peningkatan fluktuasi tidak terjadi pada saat batuk. Bila terjadi obstruksi menunjukkan adanya pneumotoraks yang luas sehingga peningkatan tersebut akan berlangsung secara terus menerus.
* Atur posisi sistem drainage agar berfungsi seoptimal mungkin, misalnya sisakan panjang selang pada tempat tidur, yakinkan bahwa selang itu tidak kaku dan menggantung di atas WSD, keluarkan akumulasi cairan bila perlu.
Bila posisi tidak baik, menekuk atau adanya akumulasi cairan akan mengakibatkan tekanan berkurang pada wSD dan mengurangi pengeluaran udara dan cairan berkurang.
* Evaluasi apakah perlu tube tersebut dilakukan pengurutan
Menarik / menekan diperlukan untuk mengeluarkan gumpalan darah / eksudat drainage.
* Tekan selang dengan hati-hati pada setiap kali melakukannya, jangan sampai mempengaruhi tekanan yang ada.
Penarikan biasanya dirasakan kurang nyaman oleh pasien sebab akan mempengaruhi tekanan intra toraks yang menyebabkan batuk dan nyeri dada. Penarikan yang salah dapat menimbulkan trauma /injury misalnya; invaginasi jaringan, kolaps jaringan di sekitar kateter atau perdarahan dari dinding kapiler.


Bila WSD tidak terpasang
* Perhatikan adanya tanda-tanda respirasi distress kemudian hubungkan toraks kateter dengan selang suction. Perhatikan tehnik aseptik. Apabila kateter tercabut, tutup luka insersi dengan dressing dengan sedikit tekanan dan segera lapor ke dokter.
Dapat terjadi pneumotoraks

Setelah selang dilepas
* Observasi tanda dan gejala bila kemungkinan terjadi kembali pneumotoraks seperti nafas pendek, mengeluh nyeri. Tutup luka dengan dressing steril, observasi keadaan luka.
Deteksi dini dari adanya komplikasi sangat penting, misalnya pneumotoraks kembali / infeksi.

Kolaborasi
* Lakukan fototoraks ulang
Untuk memonitor terjadinya hemo/pneumotoraks dan pengembangan paru.
* Periksa ulang analisa gas darah, tekana O2 dan tidal volume.
Mengetahui pertukaran gas dan ventilasi untuk menentukan therapi selanjutnya.
* Perhatikan apabila membutuhkan penambahan O2
Merupakan alat bantu pernafasan, mencegah terjadinya respiratory distress syndrom dan sianosis akibat hipoksemia.

Dx 2. Injuri, potensial terjadi trauma / hypoksia sehubungan dengan ; pemasangan alat WSD, kurangnya pengetahuan tentang WSD ( prosedur dan perawatan )
Kriteria evaluasi :
- mengenal tanda-tanda komplikasi
- pencegahan lingkungan / bahaya fisik lingkungan

Intervensi perawatan dan rasionalisasi
Independen
a. Review dengan pasien akan tujuan / fungsi drainege, catat/ perhatikan tujuan yang penting dalam penyelamatan jiwa
Informasi tentang kerja WSD akan mengurangi kecemasan
b. Fiksasi kateter thoraks pada didnding dada dan sisakan panjang kateter agar pasien dapat bergerak atau tidak terganggu pergerakannya.
Mencegah lepasnya kateter dan mengurangi nyeri akibat terpasangnya kateter dada
Perhatikan bahwa sambungan selang kateter dengan WSD aman
Mencegah lepasnya sambungan selang
Lapisi dengan kasa pada insersis kateter
Mencegah iritasi kulit
c. Usahakan WSD berfungsi dengan baik dan aman dengan meletakkannya ebih rendah dari bed pasien di lantai atau troli.
Mempertahankan posisi gaya gravitasi dan mengurangi resko kerusakan ataupun pecahnya unit WSD
d. Lengkapi dengan alat transportasi yang aman bila dibawa ke lain unit untuk pemeriksaan diagnostik
- Sebelum berangkat cek WSD, batas cairan, ada tidaknya gelembung, undulasi ( derajat dan waktunya )
- Yakinkan chest tube dapat di klem atau dilipat dari suction / WSD
Mempertahankan berlangsungnya pengeluaran cairan / udara secara optimal selama transportasi bila pengeluaran cairan dari rongga dada banyak kateter jangan di klem, suction jangan dicabut sebab dapat mengakibatkan adanya akumulasi cairan / udara sehingga timbul gangguan respirasi.
e. Monitor insersi kateter pada dinding dada, perhatikan keadaan kulit di sekitar kateter drainage. Ganti dressing dengan kassa steril setiap kali diperlukan.
Untuk mengetahui keadaan kulit seperti infeksi, erosi jaringan sedini mungkin
f. Anjurkan pasien untuk tidak menekan atau membebaskan selang dari tekanan, misalnya tertindih tubuh.
Mengurangi resiko obstruksi drain atau lepasnya sambungan selang.
g. Kaji perubahan yang terjadi, catat ; beri tindakan perawatan jika :
- perubahan suara bubling
- kebutuhan O2 yang tiba-tiba
- nyeri dada
- lepasnya selang
Intervensi yang tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi
h. Observasi adanya tanda-tanda respirasi distress bila kateter thoraks tercabut.
Pneumothoraks dapat terjadi sehingga timbul gangguan fungsi pernafasan yang memerlukan tindakan emergency

Dx 3. Kurangnya pengetahuan sehubungan dengan kurangnya informasi
Kriteria evaluasi :
- Menyebutkan penyebab penyakit
- Dapat mengidentifikasi tanda / gejala untuk perawatan / pengobatan lebih lanjut
- Mengikuti program therapi dan menunjukkan adanya perubahan pola hidup untuk mencegah timbulnya / kambuhnya penyakit.

Intervensi keperawatan dan rasionalisasi
Independen
a. Review patologi penyakit dengan klien
Informasi dapat menurunkan kecemasan / ketakutan akibat ketidak tahuan. Pengetahuan mendasari pemahaman akan keadaan adan pentingnya intervensi therapiutik.
b. Identifikasi adanya kekambuhan penyakit / komplikasi
Penyakit paru COPD + malignant merupakan penyebab terjadinya kekambuhan penyakit. Pada klien sehat tapi menderita spontaneus pneumotoraks kekambuhan berkisar 10 – 15%, yang sudah kambuh dua kali resiko untuk menderita kembali sekitar 60%.
c. Review tanda dan gejala yang perlu tindakan medis segera; nyeri dada tiba-tiba, dispnoe, distress respiratory.
Kambuhnya pneumo/hemothoraks memerlukan tindakan medis untuk mencegah/mengurangi terjadinya komplikasi
d. Review pentingnya pola hidup sehat ; nutrisi adekuat, istirahat, latihan.
Mempertahankan kesehatan secara umum dan mencegah terjadinya kekambuhan.

Read more...

tokoh keperawatan berkata:

Menurut Martha. E. Rogers, untuk mengadakan suatu perubahan perlu ada beberapa langkah yang ditempuh sehingga harapan dan tujuan akhir dari perubahan dapat dicapai . Langkah-langkah tersebut antara lain :
Tahap Awereness,
Tahap ini merupakan tahap awal yang mempunyai arti bahwa dalam mengadakan perubahan diperlukan adanya kesadaran untuk berubah apabila tidak ada kesadaran untuk berubah, maka tidak mungkin tercipta suatu perubahan
Tahap Interest
Tahap yang kedua dalam mengadakan perubahan harus timbul perasaan minat terhadap perubahan dan selalu memperhatikan terhadap sesuatu yang baru dari perubahan yang dikenalkan. Timbulnya minat akan mendorong dan menguatkan kesadaran untuk berubah
Tahap Evaluasi
Pada tahap ini terjadi penilaian terhadap sesuatu yang baru agar tidak terjadi hambatan yang akan ditemukan selama mengadakan perubahan. Evaluasi ini dapat memudahkan tujuan dan langkah dalam melakukan perubahan
Tahap Trial
Tahap ini merupakan tahap uji coba terhadap sesuatu yang baru atau hasil perubahan dengan harapan sesuatu yang baru dapat diketahui hasilnya sesuai dengan kondisi atau situasi yang ada, dan memudahkan untuk diterima oleh lingkungan
Tahap Adoption
Tahap ini merupakan tahap terakhir dari perubahan yaitu proses penerimaan terhadap sesuatu yang baru setelah dilakukan uji coba dan merasakan adanya manfaat dari sesuatu yang baru sehingga selalu mempertahankan hasil perubahan.

banner_ku

Image and video hosting by TinyPic

Tukar Banner

Tukeran link



Copy kode di bawah masukan di blog anda, saya akan segera linkback kembali

Image and video hosting by TinyPic

banner blog-blog lainnya

Image and video hosting by TinyPic http://bengawan.org/

among us

  © Blogger template The Beach by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP